Minggu, 23 Mei 2010

POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN

POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN1
Oleh: Irwansyah dan Imron2
A. Pendahuluan
Umat Islam yakni kaum muslim, apapun jenis aliran yang mereka anut dan dimana pun mereka hidup, tentu menjadikan Al-Qur-an sebagai pedoman kehidupan religiusnya. Konsekuensinya, Al-Qur’an pasti menempati posisi paling sentral dalam kegiatan apapun yang terkait aspek religius setiap muslim, tinggal tergantung pada pemahaman dan pengamalan masing-masing individu muslim tersebut. Namun permasalahannya, sudahkah Al-Qur’an dijadikan dasar dan “penerang” dalam memandang, menyikapi, dan menjalankan peran kita, bukan semata untuk kepentingan apa yang kita istilahkan dengan ibadah yang religius, melainkan untuk apa yang kita istilahkan dengan hidup yang realistis?
Paparan ini akan berusaha mengungkap pertanyaan itu dengan membatasi pembahasan pada 3 (tiga) masalah pokok yaitu:
1. Benarkah Al-Qur’an sudah menjadi sumber berbagai ilmu keislaman?
2. Aliran-aliran apa saja yang ada dalam Islam dan bagaimana korelasinya dengan Al-Qur’an?
3. Bagaimana peranan unsur nalar dalam memahami Al-Qur’an?

B. Pembahasan
1. Al-Qur’an sebagai Sumber Berbagai Ilmu Keislaman
Al-‘Alaq merupakan Surah Al-Qur’an yang pertama diturunkan.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tdak diketahuinya” (QS Al-‘Alaq:1-5).

___________________________
1Disajikan dalam kegiatan kuliah Studi Al-Qur’an, 13 Nopember 2006
2Dikerjakan sebagai tugas bersama
Iqro’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah: ciri-ciri sesuatu, bacalah gejala alam, tanda-tanda zaman, sejarah, termasuk diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak. Dengan demikian, perintah iqro’ mencakup apa saja yang dapat dijangkau untuk dipelajari.
Deskripsi di atas belum serta-merta menjawab: telahkah Al-Qur’an menjadi sumber ilmu? Ia baru menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang memerintahkan kita untuk mencari ilmu pengetahuan, tanpa memberikan petunjuk tegas bahwa ilmu pengetahuan itu ada dalam Al-Qur’an itu sendiri. Benarkah Al-Qur’an hanya menyuruh mempelajari pengetahuan tanpa menjadikan dirinya sebagai sumber belajar? Jangan terlalu cepat mengiyakan. Baca lagi ayat-ayat Al-Qur’an lainnya.
Secara logika saja, karena Al-Qur’an adalah pedoman hidup kaum muslim, tentu saja ia akan memuat aturan-aturan tentang cara menjalankan kehidupan sebagai muslim. Dengan demikian tentu saja Al-Qur’an melengkapi diri dengan tata cara yang harus dipedomani dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya tentang beribadah, berkeluarga, bermasyarakat, berusaha/mencari nafkah, dan lain-lain.
Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran Islam karena Al-Qur’an langsung diturunkun oleh Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia baik yang beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam. Karena Al-Qur’an merupakan pokok ajaran Islam, maka segala studi mengenai keislaman tidak boleh bertentangan dengan sumber pokok ini.

Apabila kita perhatikan, maka susunan Al-Qur’an adalah merupakan suatu susunan yang tidak tertandingi, sehingga dari segi ini dapat dipahami berbagai kemungkinan penger¬tian, karena kalimat-kalimatnya simpel dan isinya padat. Ber¬dasarkan janji Allah SWT., bahwa kalimat-kalimat Al-Qur’an yang terlihat sederhana bila direnungkan berulang-ulang dan secara mendalam, baik dari segi bahasanya maupun dari segi kandungamya merupakan suatu sumber pengetahuan yang tidak akan selesai-selesainya untuk dibahas. 3


___________________________
3M. Ali Hasan. 2000. Studi Islam, Al-Qur’an dan As Sunnah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm 137.


Janji Allah tersebut sebagaimana firman-Nya:

“Katakanlah sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Al-Kahfi: 109).

Ayat tersebut menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah merupa¬kan sumber segala ilmu pengetahuan yang tidak pernah kering bila dibahas, khususnya mengenai keislaman. Dalam ayat lain disebutkan, bahwa Al-Qur’an tersebut meliputi segala macam persoalan dan cara penyampaiannya secara global, sebagaimana firman Allah: “Dan tidak kami alpakan sesuatupun dalam al-kitab (al¬-Qur’an)”(Al-An'am: 38).

Jadi isi Al-Qur’an meliputi segala macam persoalan, dan bisa dibahas dari berbagai aspek. Al-Qur’an juga dapat dilihat dari segi kandungannya yang bukan hanya mengemukakan persoalan-persoalan yang menyangkut peribadatan saja, tetapi meliputi juga persoalan teologi, persoalan kemasyarakatan, persoalan eksistensi manusia bahkan persoalan-persoalan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti ilmu dan teknologi. Karena posisi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama, maka segala sesuatu pembahasan mengenai keIslaman, baik yang menyangkut ajaran maupun yang menyangkut unsur-unsur pendukung terlaksananya ajaran tersebut, seluruhnya mengacu kepada Al-Qur’an. Bagi orang-orang yang percaya akan kemu'jizatan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an itu betul-betul akan menjadi petunjuk baginya dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.4

Al-Qur’an mengandung pengertian yang lengkap mengenai segala aspek kehidupan manusia, alam semesta dan metafisika, masa lampau, masa kini dan masa depan, individu, masyarakat, sosial politik, dan sebagainva.
Dilihat dari abad ke abad, umat Islam tidak pernah berhenti mengembangkan ilmu pengetahuan di mana saja mereka berada. Pada negeri-negeri yang diilhami oleh umat Islam selalu terdapat lembaga tempat perkembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu bersumber dari al-Qur’an. Dalam lembaga-lembaga ini diajarkan tentang Al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, ilmu fikih, teologi Islam, mantiq, astronomi, sejarah dan lain-lain.
___________________________
4Ibid, hlm 139

Ilmu keislaman dan dasar pokok yang dipandang penting di antaranya5:

a. llmu Tauhid (Teologi)

Ilmu tauhid disebut juga ilmu kalam, yaitu ilmu yang membahas tentang ke-Esaan Tuhan dan wujud Allah dengan segala sifat-Nya. Dalam ilmu tauhid disebutkan tidak hanya dibahas mengenai wujud Allah saja, tetapi juga dibahas tentang iman kepada rasul, kitab-kitab yang diturunkan Allah, malaikat-¬malaikat, hari akhirat (alam gaib), dan iman kepada kadar baik maupun buruk, yang disebut dengan rukun iman. Sebagai inti dari rukun iman itu, adalah iman kepadaAllah, mengakui wujud-Nya dan meng-Esakan-Nya.
Untuk meyakinkan kita, bahwa Allah itu ada (wujud), di dalam Al-Qur’an diisyaratkan supaya kita memperhatikan makhluk (alam) ciptaan-Nya. Dibalik ciptaan dan alam jagad raya ini akan ditemukan Allah dan diyakini wujud-Nya. Di antaranya Allah berFrman:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu. Dia hidupkan bumi sesudah mati (keringnya), dan dia sebarkan di bumi itu segala jcnis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang di antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (ke-Esaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (AI-Baqarah: 164)

Di dalam ayat di atas diisyaratkan, supaya hamba Allah memikirkan tentang kejadian alam semesta ini. Ayat Al-Qur’an cukup banyak memberi isyarat ke arah itu dan sesudah direnungkan dalam-dalam akan menemukan Penciptanya dan meyakini keberadaan-Nya. Kemudian diyakini pula, bahwa pencipta semuanya ini adalah Tunggal (Esa), tidak berbilang.

___________________________
5Ibid, hlm 140-146.
b. Ilmu Fiqih

Ilmu ini adalah dasar dari apa yang disebut sebagai hukum. Setiap orang akan punya pandangan dan alasan sendiri dalam memandang dan menyikapi sesuatu. Untuk itu harus ada pedoman sebagai rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat sehingga tidak menggiring orang ke lembah perpecahan dan setiap orang mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pen¬dapat sendiri (toleran, tasamuh).
Untuk menetapkan suatu hukum diperlukan seperangkat ilmu yang memungkinkan seseorang (mujtahid) menggali isi al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum berbagai masalah. Dengan dcmikian fikih pun merupakan suatu disiplin ilmu yang memerlukan kajian tersendiri.
Sebagian orang berpendapat, bahwa umat Islam menga¬lami kemunduran, karena terlalu terfokus pemikirannya kepada fikih. Islam mengalami kemunduran bukan karena terlalu berorientasi kepada fikih, tetapi karena sipenentu hukum itu tidak maju bergerak, se¬perti tetap berorientasi kepada fikih lama yang mungkin tidak sesuai lagi dengan keperluan zaman. Kalau ada yang beranggapan, bahwa fikih lama sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, maka had ini yang perlu diluruskan. Hendaknya dapat dipahami, bahwa hukum fikih itu sesuai dengan tuntutan zaman (ingat, bukan menyesuai¬kan dengan perkembangan zaman).

3. Ilmu Filsafat Islam

Banyak definisi yang diajukan tentang filsafat, tetapi inti sarinya adalah cara berpikir menurut logika dengan bebas sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalan. Manusia didorong untuk menemukan suatu orientasi hidup, yang dapat memberi arah dan pegangan bagi per¬buatan serta perilakunya.Filsafat yang bersifat ilmiah dikembangkan dengan ber¬titik tolak pada pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dari manusia, cara sistematis dan metodis, mengenai kenyataan-¬kenyataan hidupnya. Sebagai ilmu, fiIsafat dikatakan ilmu yang universal, karena obyeknya menyangkut seluruh kenya¬taan atau pandangannya terhadap sesuatu, ditumpahkan kepada latar belakang arti seluruh realitas manusia.
Menurut obyeknya, Filsafat meliputi beberapa cabang misalnya: filsafat manusia, yang menyelidiki manusia (ha¬kikat manusia), filsafat Ketuhanan, filsafat alam, filsafat pe¬ngetahuan dan sebagainya.Dari berbagai cabang filsafat tadi, dalam Al-Qur’an pun diisyaratkan supaya dipikirkan dan direnungkan. Sebagai contoh:mengenai manusia banyak diungkapkan, malahan pada permulaan ayat Al-Qur’an diturunkan, Selain manusia, binatang pun sengaja disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, seperti penamaan surat dengan nama binatang, yaitu surat Al-Baqarah, Al-An'am, An-Nahlu, Annaml, Al-Ankabut, dan Al-fill. Demikian juga halnya menge¬nai tumbuh-tumbuhan dan planet-planet yang beredar dalam jagad raya ini. Kesemuanya itu memerlukan pemi¬kiran, perenungan mengenai hikmahnya diciptakan oleh Allah.


2. Aliran-aliran dalam Islam dan Korelasinya dengan Al-Qur’an

Pada dasarnya, munculnya aliran-aliran, terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang pemahaman makna ayat-ayat Al-Qur’an berikut.
a. Ayat-ayat Muhkam dan Mutasybih6
Kita telah mengetahui bahwa dalam kitah sud Al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkam dan mutasyahih sebagaimana firman Allah:
“Dialah yang rnenurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang rnuhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti seba¬gian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman. kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat naengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” ( Ali-Imran: 7).

Ayat di atas berisi tentang pembagian ayat-ayat Al-Qur’an menjadi dua bagian, yaitu ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Adapun yang dimaksud dengan ayat

___________________________
6Ibid, hlm 152-162
muhkam yaitu ayat-¬ayat yang maksudnya (isyaratnya), jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman. Sedang menurut istilah ulama ushul ialah: “Sesuatu yang menunjukkan kepada artinya yang tidak menerima pembatalan dan penggantian secara jelas dan sama sekali tidak mengandung ta'wil, artinya tidak mengandung arti lain, yang bukan arti formalnya, ka¬rena ia dijelaskan dan ditafsirkan dengan penafsiran yang tidak membuka kemungkinan pena'wilannya. Juga tidak me¬nerima penghapusan (naskh) pada masa risalah Muhammad dan waktu kekosongan turun wahyu, atau sesudahnya. Ka¬rena hukum yang dapat diambil daripadanya adakalanya berupa hukum kaidah-kaidah agama yang bersifat asasi (fundamental) dan tidak dapat menerima penggantian, se¬perti meng-Esakan Allah dan mempercayai para Rasul-Nya serta kitab-Nya.”
Isinya terdiri dari prinsip-prinsip keutamaan yang tidak akan berubah lantaran perubahan situasi, seperti berbakti ke¬pada kedua orang tua dan berbuat adil, atau di dalamnya ter¬dapat hukum cabang yang merupakan bagian (anak cabang), tetapi terdapat bukti bahwa Syari' (Allah) menguatkan sya¬ri'at-Nya, seperti firman Allah yang ditujukan kepada para penuduh zina terhadap wanita bersuami (muhshan), sebagaimana firman Allah:
... Dan janganlah karnu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya... (An-Nuur: 4).
Ayat muhkam itu secara pasti wajib diamalkan. Tidak bisa dipalingkan dari pengertian Formalnya, dan tidak pula dapat dihapus. Penulis cenderung berpendapat bahwa al-muhkam itu tidak dapat menerima nasakh, karena setelah wfat Rasulullah SAW. telah terputus wahyu. Dengan demikian, hukum-¬hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, semuanya menjadi kokoh (pasti), yang tidak dapat menerima nasakh, dan juga tidak dapat menerima pembatalan, karena setelah Rasullullah SAW. wafat, tidak ada lagi kekuasaan untuk mem¬bentuk syari'at yang dapat membatalkan apa yang dibawa oleh beliau, atau menggantikannya.
Ayat mutasyabih adalah ayat yang maksud (isyaratnya) belum jelas, sehingga mungkin menimbulkan kekeliruan pemahaman. Menurut ulama ushul, iafah lafadz yang shi¬ghatnya itu sendiri tidak menunjukkan pada arti (maksud)-nya, dan tidak terdapat qarinah-qarinah luar yang menjelaskannya. Sedangkan Syari' (Allah) sudah mencukupkan begitu saja dan tidak menjelaskannya lagi.
Juga terdapat ayat-ayat mutasyabih berupa gambaran Allah SWT. menyerupai makhluk-Nya seperti mempunyai tangan, mata dan tempat, firman Allah SWT.
“Tangan Allah di atas tangan mereka ...” (AI-Fath: 10)
Firman Allah lagi:
“Tiada pembicaraan rahasia arrtara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya, dan tiada pembicaraan lima orang, melainkan, Dialah keenamnya, dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, rnelainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada...” (Al-Mujadilah: 7).

Huruf hijaiyah yang terpotong-potong yang terdapat pada permulaan sebagian surat (di dalam Al-Qur’an) itu sendiri tidak menunjukkan artinya, dan Allah SWT. tidak menjelaskan arti yang dikehendaki. Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu juga ayat-ayat yang formalnya menunjukkan penyerupaan al-Khalik kepada makhluk-Nya, adalah Maha Suci dari (mempunyai) tangan, mata, tempat dan segala se¬suatu apa pun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dan syara' tidak menjelaskan arti dari kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama salaf tentang arti mutasyahih. Mereka serahkan ke¬pada Allah SWT. arti mutasyabih itu dan mereka memper¬cayainya serta tidak membicarakan untuk tidak mentak¬wilkannya.
Sedangkan pendapat ulama khalaf, bahwa ayat-ayat itu formalnya adalah mustahil, karena Allah SWT, memang tidak mempunyai tangan, mata dan tempat. Segala sesuatu yang formal itu mustahil dan harus ditakwilkan dan dipalingkan dari arti formal ini.
Pengertian muhkam dan mutasyabih di dalam Al-Qur’an menurut para muFassir dan ulama adalah:
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami penger¬tian muhkam dan mutasyahih, namun ada pendapat yang lazim dan shaheh sejak awal Islam sampai sekarang yaitu:
a. Ayat muhkam yaitu ayat yang maksud dan isyaratnya jelas tidak ada keraguan dan kekeliruan, ayat-ayat ini wajib di¬imani dan diamalkan.
b. Ayat mutasyabih adalah ayat yang tidak dimaksudkan makna lahirnya dan makna hakikinya sebagai takwilnya, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, dan ayat-ayat ini wajib diimani dan tidak untuk diamalkan.
Pendapat-pendapat di atas merupakan pendapat di ka¬langan ulama ahlu sunnah dan ulama Syi'ah. Yang mernbe¬dakannya adalah, ulama Syi'ah percaya bahwa Nabi dan para imam ahlul baitnya, mengetahui takwil ayat-ayat mutasytbih. Sedangkan umumnya ulama kaum Muslimin karena tidak mengetahuinya, mereka merujuk kepada Allah, rasul dan para ulama.
Sebenarnya orang-orang keliru kalau terjadi ikhtilaf ulama tentang makna mutasyabih yang dipertentangkan dengan ayat muhkam dalam ayat 7 surat Ali-Imran di atas. Memang terdapat heberapa pendapat, sebagian dinasabkan kepada golongan ulama ushuluddin, dan sebagian lagi ke¬pada ulama selain mutakalimin dan ushuluddin. Di antara mereka ada dua pendapat yang masyhur, yaitu golongan yang mengatakan bahwa yang disebut ayat mutasyabih itu adalah makna lahirnya memberi kesan, bahwa maknanya itu tidak patut bagi kebesaran Allah dan tidak sesuai dengan penjelasan yang muhkam dalam mensudkan Allah dari sifat-¬sifat makhluk. Dalam menghadapi hal semacam ini ada dua alternatif yang harus dilakukan seorang Muslim yakni:
a. Mengimani dengan cara yang tidak bertentangan dengan kesucian Allah dan tidak condong menetapkan dengan jalan takwil. Dengan demikian rahasia yang mutasyahih telah tersimpan sebagai ilmu ghaib yang tidak dapat diketahui hakikatnya selain oleh Allah.
b. Mengubah makna lahirnya dengan menetapkan makna lain yang sesuai dengan kebesaran dan kesucian Allah, kemudian mengimaninya. Misalnya "bersemayam" diarti¬kan dengan "menguasai", "tangan" diartikan "kekuasaan", "kanan" diartikan "kekuatan", "terbuka tangan-Nya" di¬artikan "banyak anugerah dan pemberian-Nya," begitu pula dengan arti lain.
Pengertian seperti ini sebenarnya tidak dapat dimasuk¬kan mutasyabih, dalam arti bahwa rahasianya tersembunyi di balik ilmu Allah. Pengertian mutasyabih seperti itu ter¬masuk katagori memahami makna yang diperlukan dengan mengembalikan kepada yang muhkam. Hanya orang terten¬tulah yang memiliki pengetahuan tentang itu. Berdasarkan pendapat ini, bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada yang muta¬syabih dalam arti yang tersembunyi di balik ilmu Allah.
Di samping ada ulama yang mempunyai pendapat se¬perti tersebut di atas tentang makna mutasyabih, terdapat pula golongan lain yang berpendapat, bahwa mutasyabih yang dihadapkan dengan muhkam itu, adalah dilihat sudut penjelasannya. Oleh sebab itu, ia menjadi lapangan ijtihad bagi mereka.
Sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat adalah karena perhedaan tentang makna suatu kata yang terdapat dalam ungkapan tertentu. Umpamanya kata "quru"' dapat diartikan haid atau suci. Mungkin juga ikhtilaf terjadi disebabkan oleh makna yang kompleks. Ikhtilaf itu berkisar pada hadits yang dipandang shahih oleh seorang ahli fikih untuk makna sesuatu ayat, sedangkan ahli fikih yang lain tidak menggunakannya untuk makna ayat yang sama, dengan alasan yang dianggapnya lebih kuat. Banyak contoh yang dibentangkan dalam kitab-kitab yang mengupas masalah khilafiah dan telah diketahui oleh para ahli ilmu fikih. Ini berarti bahwa perkara yang diartikan mutasyabih diartikan sebagai yang diketahui oleh banyak orang. Tetapi atas dasar pengertian ini arti mutasyabih tidak termasuk ke dalam pokok yang sedang dibicarakan di sini.
Sudah barang tentu perbedaan paham yang terdapat di kalangan kaum mutakallimin sama dengan soal-soal khila¬fiyah yang terdapat di kalangan ulama fikih berdasarkan madzhab dan pendirian mereka. Dalam kedua macam ¬soal khilafiyah ini, Allah tidak berkehendak memaksakan hamba-hamba-Nya dengan suatu pendirian tertentu, malah sebaliknya, Allah SWT, membuka pintu ijtihad bagi akal pikir¬an mereka. Semua pihak yang tergolong orang-orang mukmin selamat, baik ia salah dalam ijtihad maupun benar. Inilah segi yang memperkuat pendapat di atas.


b. Ayat-ayat Qath’i dan Zhanni
Nash-nash Al-Qur’an jika ditinjau dari aspek dalalahnya atas hukum-hukum yang dikandungnya, dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:
a. Nash yang Qath’i dalalahnya
b. Nash yang Zhanni dalalahnya
Nash yang Qath’i dalalahnya adalah nash yang menunjuk¬kan kepada makna yang biasa dipahami secara tertentu, yang hanya satu pengertian dan penafsirannya, tidak ada kemungkinan menerima takwil dan tidak ada tempat bagi pemahaman lain selain itu, seperti Firman Allah:
”Dan (bagimu) (suami-istri) seperdua dari harta yaug di¬tinggalkan oleh suami atau istrimu jika rmempunyai harta...” (An-Nisa: 12).
Nash zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan was makna yang memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipaling¬kan dari makna asalnya kepada makna lain, seperti firman Allah:
“Wanita-wanita yang dithalak, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'...” (Al-Baqarah: 22S).

Jadi nash yang zhanni adalah yang memungkinkan penger¬tiannya dan penafsirannya lebih dari satu. Ayat-ayat yang se¬perti inilah yang menjadi lapangan ijtihad para mujtahid, yang hasil ijtihad mereka itu mungkin juga berbeda. Boleh dikatakan sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an adalah zhanni.
Ayat-ayat Al-Qur’an.itu ada yang Qath’i (pasti), yang tidak mungkin lagi dimasuki oleh daya nalar manusia, seperti kewajiban melakukan shalat, wajib puasa, zakat dan haji. Kemudian ada lagi ayat ayat yang Zhanni (dugaan, memung¬kinkan beberapa pengertian dan penafsiran), sebagaimana telah dikemukakan di atas. Dari ayat-ayat yang bersifat zhanni ini timbul berbagai macam pendapat dan aliran dalam Islam.
Kita kenal ada aliran dalam teologi, tasawuf, fikih dan sebagainya. Kalau kita bertanya apa sebenarnya yang menjadi rujukan masing-masing? Semuanya, mengatakan bahwa wahyu Ilahilah yang menjadi sumber atau landasan, me¬netapkan sesuatu, apakah filsafat, teologi, tasawuf atau fikih.
Jadi mengenai sumbernya tidak ada perbedaan pen¬dapat, tetapi yang berbeda, dalam memahami sumber itu (al-Qur’an). Kita lihat, ada kata yang bermakna ganda, ada yang mempergunakan makna hakiki dan ada pula yang mempergunakan makna majazi, ada yang memakai makna lughawi.
Berdasarkan kenyataan, bahwa Allah menurunkan ayat-¬ayat yang bersifat zhanni lebih banyak bila dibandingkan dengan ayat-ayat yang bersifat Qath’i, dengan tujuan, agar daya nalar manusia berkembang (dinamis), tidak jumud (statis), memikirkan yang tersirat, dan tidak hanya yang ter¬surat.
Ada beberapa aliran yang dikenal dalam Islam antara lain As-Salaf, Mu’tazilah, Al Asy’ariah, Syi’ah, dan Tasawuf.

a. As-Salaf
As-Salaf adalah mereka yang memegang teguh al Ma’sur (Al-Qur’an dan Sunnah), mendahulukan riwayat atas kajian (al Dirayah), dan mendahulukan naql (Al-Qur’an dan Sunnah) atas akal. Aliran ini dikenal pula dengan sebutan ahl al-Sunnah wa al Jami’ah. Mereka mengimani Al-Qur’an tanpa banyak tanya, memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara global berdasarkan pengertian-pengertian lahir8.

b. Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah aliran rasional dalam Islam yang membahas secara filosofis hal-hal yang tadinya belum diketahui melalui metode filsafat9.

c. Al Asy’ariah
Al Asy’ariyah kreatif yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub akal dan naql, antara kaum Salaf dan Mu’tazilah10.

d. Syi’ah
Jika ketiga aliran di atas berbeda karena pandangan mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, maka syi’ah muncul sebagai aliran yang meyakini Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang paling berhak menjadi khalifah (setelah Rasul wafat) karena Ali paling dulu masuk Islam, paling banyak menghadapi cobaan dalam fisabilillah, bahkan punya hubungan nasab paling kuat dengan nabi11.

___________________________
7 Ibrahim Madkour, Dr. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta : Bumi Aksara, hlm 36.
8Ibid, hlm 45.
9 Ibid, hlm 63.
10 Ibid, hlm 88.
e. Tasawuf
Aliran ini berpegang pada:
• Tingkah laku menjauhi pesona dunia demi kesucian jiwa dan tubuh.
• Mujahadah, ketahanan menghadapi bencana.
• Mementingkan akhirat.11

Tidak jarang terjadi gesekan dan benturan-benturan antara aliran yang satu dengan aliran yang lain. Namun demikian, perbedaan pendapat itu bukanlah suatu 'aib atau tercela dalam agama Islam. Perbuatan yang tercela dan 'aib, adalah perbedaan pendapat yang menjurus kepada pertentangan dan permusuhan. Hal ini disebabkan, karena kurang dewasa dalam berpikir, terpengaruh oleh emosi dan kefanatikan menganut suatu aliran. Padahal kalau dilihat, maka "syahadat" semua penganut dari berbagai aliran adalah sama, tidak ada bedanya. Mengapa sampai terjadi saling mengkafirkan, sedangkan tempat kembali dan ber¬naung adalah sama, yaitu Allah dan sumber ajaran Allah adalah sama pula yaitu Al-Qur’an.
Sebagai penutup bagian ini, sangatlah tepat apa yang dikatakan Muhaammad al-Baqir:
Kaum muslim, baik di Indonesia maupun di negara-negara Islam lainnya, telah membuktikan bahwa sikap keras dan fanatik yang berlebihan, dengan cara memandang madzhab dan faham kita saja yang berhak memonopoli kebenaran, sedangkan faham-faham lainnya pasti salah dan sesat dan oleh karena itu harus diganyang habis-habisan, ternyata tidak menghasilkan sesuatu kecuali pecahnya pertengkaran dan pertikaian sengit, dan timbulnya tragedi-tragedi yang meresahkan, serta menjalarnya kebencian di kalangan sesama muslim. Sehingga dalam hati kita timbul pertanyaan: “Sampai kapankah keadaan seperti ini tidak bisa diatasi?” Tidak kita bersedia mengamalkan firman Allah dalam surah al-Fatah: 29: ”Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaannya” 12


___________________________

11 Ibid, hlm 100-101.
12 Syarafuddin al-Musawi, A.. 1992. Dialog Sunnah Syi’ah. Bandung: Mizan, hlm xxx.


3. Unsur Nalar dalam Memahami Al-Qur’an13

Menurut epistemologi maupun sosiologi pengetahuan, persepsi yang terdapat pada seseorang merupakan cermin dari realitas itu, sebenarnya merupakan pengalaman yang terstruktur yang terbentuk melalui proses yang dipengaruhi oleh suatu kerangka pemikiran tertentu yang bisa disebut “teori”. Orang akan melihat dan memberikan arti terhadap pengalamannya berdasarkan “teori” yang terdapat di kepalanya. Ayat-ayat Al-Qur’an dapat juga menjadi “data”, walaupun berupa teks. Maka dalam menginterpretasikan “data” tersebut orang juga akan mempergunakan teori sebagai kerangka referensinya, apabila ia seorang sarjana yang sadar. Mereka yang bukan sarjana akan mempergunakan pengalaman terstrukturnya dalam membaca sesuatu. Demikian pula halnya ketika membaca Al-Qur’an.
Kesulitan yang dialami seseorang dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tertentu adalah karena kesulitan menghubungkan apa yang dibacanya dengan kerangka referensi yang terbukti dari pengalamannya. Itulah sebabnya, maka para mufasir menganjurkan untuk mengetahui asbabun nuzul dalam membaca suatu ayat tertentu, sebab keterangan yang akan diperoleh bisa membantu atau mengantikan pengalamannya sendiri sebagai kerangka referensi yang diperlukan untuk memahami suatu ayat. Namun pengalaman hidup sendiri tetap saja diperlukan, karena pengalaman itu, terutama yang luas dan memiliki dimensi komparatif, akan sangat membantu memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah sebabnya, pemahaman seseorang tentang ayat-ayat Al-Qur’an cenderung untuk semakin mendalam sejalan dengan bertambahnya pengalaman hidup. Tapi pengalaman ini bisa juga digantikan teori, yang sebenarnya merupakan “konsentrat” dan pengalaman yang banyak atau intensif yang dilakukan dengan penelitian.
Kalau kita kaji lebih mendalam isi Al-Qur’an yang meng¬informasikan berbagai aspek kehidupan, seperti aspek keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek-aspek lainnya, sungguh betapa lengkapnya Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam.

___________________________
13Sebagian disarikan dari Hasan, 0p cit, hlm 149-152
Tidak ada satu pun yang terlupakan atau ter¬tinggal dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang segala aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an dalam menginformasikan berita dari Allah tidak terlepas dari unsur nalar dan berbagai aspek lainnya, agar informasi tersebut dapat dipahami dan diterima oleh obyeknya.
Dalam perkembangan Islam, aspek nalar memainkan peranan penting. Dalam membahas bidang-bidang keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banyak pula berpegang pada akal. Peranan akal besar sekali dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan yang kita jumpai, bukan hanya dalam bidang Filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan dalam bidang fikih dan tafsir, karena Allah sendiri memerintahkan hamba-Nya berpikir. Al-Qur’an se¬bagai sumber ajaran Islam tidak dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat, kalau isi serta kandungannya itu belum dapat dipahami dengan baik, karena isi dan kandung¬an Al-Qur’an itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-¬hari.
Memahami Al-Qur’an tidaklah mudah, karena kita harus mengetahui sebab turunnya, lebih-lebih dalam mema¬hami ayat-ayat mutasyabihat dan pengetahuan lainnya. De¬ngan demikian dirasakan kebutuhan mengembangkan be¬berapa peralatan ilmiah untuk mengontrol kemajuan ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an (ilmu tafsir). Karena itu pertama-tama menjadi prinsip adalah, bahwa tidak hanya pengetahuan mengenai hahasa Arab saja yang diperlukan untuk memahami Al-Qur’an secara tepat, tetapi juga ilmu-¬ilmu yang lain seperti idiom-idiom bahasa Arab pada zaman Nabi. Dari sini berkembanglah gramatika bahasa Arab, ilmu perkamusan dan kesusastraan Arab dengan suburnya.
Selanjutnya latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang disebut "asbab al nuzul" dijadikan sebagai alat yang perlu untuk menerapkan makna yang tepat dari firman Allah. Di samping itu perlu juga diketahui dan dianggap sangat penting bagaimana caranya orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah Al-Qur’an. Setelah persyaratan¬-persyaratan ini dipenuhi, barulah penggunaan nalar manusia diberi tempat. Untuk itu bermunculanlah kitab-kitab taf¬sir sehingga pandangan apa pun yang ingin diproyeksikan dan dibela oleh kaum Muslimin, mengambil bentuk dalam berbagai tafsir Al-Qur’an.

C. Penutup
Simpulan dari tulisan ini:
1. Al-Qur’an adalah sumber berbagai ilmu keislaman. Karena Al-Qur’an merupakan pokok ajaran Islam, maka segala studi mengenai keislaman tidak boleh bertentangan dengan sumber pokok ini.
2. Memang ada aliran-aliran dalam Islam yang muncul karena faktor perbedaan pandangan tentang cara memahami ayat-ayat Al-Qur’an, faktor sejarah Islam, dan faktor-faktor lainnya. Yang terpenting adalah pemahaman bersama bahwa Allah dalam Al-Qur’an menghendaki sesama muslim untuk saling berkasih sayang.
3. Sebagian besar umat muslim berpandangan bahwa unsur nalar amat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Al-Qur’an se¬bagai sumber ajaran Islam tidak dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat, kalau isi serta kandungannya itu belum dapat dipahami dengan baik, karena isi dan kandung¬an Al-Qur’an itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-¬hari.
Jambi, 13 Nopember 2006

















Daftar Pustaka

Abul Kalam Azad. 1991. Konsep Dasar Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ali Abdul Hamid Hamudah, M.A.. 1992. Islam Digerogoti Aliran-aliran Destruktif.
Solo: CV Pustaka Mantiq.

Ali Hasan, M. 2000. Studi Islam, Al-Qur’an dan As Sunnah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Gibb, H. A. R.. 1992. Aliran-aliran Moderen dalam Islam. Jakarta: Rajawali.

Hanafi, A., MA. 1975. Ushul Fikih. Jakarta: Wijaya.

Hashbi Ash Shiddiqi, M. 1995. Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Ibrahim Madkour, Dr. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta : Bumi Aksara

Inu Kencana Syafiie. 1992. Al-Qur’an Sumber Segala Disiplin Ilmu. Jakarta: Gema
Insani Press.

Mukhtar Yahya, Prof. dan Fathurrahman, Prof. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Islam. Bandung: Al-Ma'arif.

Mukti Ali, dkk. 1997. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Quraisy Syihab, Prof. Dr. 1996. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Syarafuddin al-Musawi, A.. 1992. Dialog Sunnah Syi’ah. Bandung: Mizan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar