Senin, 31 Mei 2010

PRINSIP-PRINSIP PEMIKIRAN AZ-ZARIQOH DAN ISMALIYAH

PRINSIP-PRINSIP PEMIKIRAN AZ-ZARIQOH DAN ISMALIYAH

Oleh ‘Imron

A. Latar Belakang

Manusia merupakan salah satu ciptaan Allah SWT yang ada dimuka bumi ini yang memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam menjalani aktivitas diperbuatan di muka bumi ini manusia memiliki pikiran dan nafsu yang semua itu tidak ada pada makhluk lainnya.

Tujuan manusia melakukan sesuatu perbuatan baik itu baik, jahat memiliki kosekuensi yang sangat mendalam ditamba memiliki sesuatu yang tidak ada diri makhluk lainnya.

Akibat dari gejolak politik kekuasaan pada masa khalifah Rasyidin yang ketiga yaitu Khalifah Usman bin Affan . Pada masa kepemimpinanya yang dianggap banyak terjadi penyimpangan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam terutama nepotisme dalam kekuasaannya. Selain itu masalah yang timbul matinya Usman bin Affan tidak terselesaikan kasus penyusutan siapa dibalik pembunuh Usman tersebut dalam masa kahlifah Ali bin Abi Thalib. Permasalahan-permasalah terus timbul pada umat Islam yang pada pucaknya peperangan antara khalifah Ali Abi Thalib dengan Muawiyah pada akhirnya terjadinya tahkim dalam sejarah umat Islam. Tahkim tersebutlah melatar belakangi timbulnya berbagai aliran pemikiran pada umat Islam. Selain itu di pengaruhi aliran filsafat dan pemikiran rasional ke dunia Islam pada awal tahun ke dua hijriah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran teologi di kalangan umat Islam.

Berikut ini argumentasi beberapa paham yang diberikan terhadap manusia yang ada dipermukaan bumi.

B. Azariqoh dan Metode Pemikirannya

1. Al-Azariqoh

Azariqoh adalah para pengikut-pengkut Abu Rasyid Nafi’ Ibnu Azraq yang meninggalkan kota Basrah bersama Nafi’ menuju Ahwaz, dan mereka dapat menaklukan negeri itu serta negeri Persia dan Kiraman. Nama Az-zariqoh diambil dari Nafi’ Ibn al-Azraq. Menurut al-Bagdadi pengikutnya berjumlah dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri dan mereka beri gelar Amir al-Mu’minin. Nafi mati dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M1.

Pemimpin-pemimpin Khawarij yang menyertai Nafi’ itu antara lain ialah : Athiyah ibnul Aswad, Qathari ibnul Fujaah, Ubaidah ibnul Hilal al Yasykuri, Sakhr ibnul Habib, Shalih ibnu Mikhraj, Abdu Rabbih al Kabir dan Abdu Rabbih ash Shaqhir2.

Kaum Azariqoh merupakan golongan khawarij yang terbesar dan paling berbahaya dan paling banyak mencapai kemenangan. Kaum khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali Ibn Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali Ibn Thalib dalam menerima arbitase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali.3 Selain itu ada pendapat lain nama tersebut diberikan atas dasar surat An-Nisa ayat 100 yang berbunyi :

... وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ...

” Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah “

Kaum Khawarij kadang-kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “ golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah4 ” penamaan ini bersumber dari QS : Al-Baqarah : 207 yang berbunyi :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

“ Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.

Nama lain bagi kaum khawarij adalah Hururiyah. Istilah ini mereka gunakan untuk menamakan diri mereka, berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat Kufah. Di tempat ini mereka menumpahkan rasa penyesalan kepada Ali bin Abi Thalib yang mau berdamai dengan Muawiyah5

Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani dan bersikap merdeka, tidak tergantung pada orang lain. Perubahan agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat ke Badawian mereka. Mereka tetap bengis dan suka kekerasan dan tak gentar mati. Ajaran-ajaran Islam, sebagai terdapat Al-qur’an dan hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan imam dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik . Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.6

2. Pokok pemikiran Al-Zariqoh

Al-Zariqoh merupakan subsekte dari aliran Khawarij. Aliran ini lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memaki tern kafir, tetapi term musyrik atau poletheist. Dalam Islam syrik atau polytheistme merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kurf.7

a. Pandangan Musyrik

Pandangan musrik menurut al-zariqoh bahwa semua orang Islam yang tak sepaham dengan mereka. Bahkan orang Islam yang sepaham dengan al-zariqoh, tetapi tidak mau hijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Dan barang siapa yang datang ke daerah mereka dan mengaku pengikut al-zariqoh tidaklah diterima begitu saja, tetapi harus diuji. Kepadanya diserahkan seorang tawanan. Kalau tawanan ini ia bunuh, maka ia diterima dengan baik ; tetapi kalau tawanan itu tidak dibunuhya, maka kepalanya sendiri yang mereka penggal7.

Sikap yang tidak mau mencabut nyawa tawanan itu memberikan keyakinan kepada mereka bahwa ia berdusta dan sebenarnya bukan penganut paham al-azariqoh. Selain itu semua orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bahkan anak, Istri orang yang demikian pun boleh ditawan dan dijadikan budak atau dibunuh. Bahwa daerah mereka yang merupakan dar al-Islam, sedangkan daerah Islam lainnya adalah dar al-kufr, yang wajib diperangi. Selain itu yang dipandang musyrik, bukan hanya orang-orang dewasa, tetapi juga anak-anak dari orang yang dipandang musyrik.

Menurut pandangan al-azriqoh yang ekstrim hanya merekalah orang yang sebenarnya orang Islam. Orang Islam yang diluar lingkungan mereka adalah musyrik yang harus diperangi. Menurut Ibn Al-Hazm bahwa kaum al-azariqoh selalu mengadakan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku orang Islam yang tak termasuk dalam golongan al-azariqoh, mereka bunuh.8

b. Penduduk yang tidak sepaham

semua penduduk yang tidak membantu gerakan mereka, apalagi yang menentang mereka dipandang musyrik; karena mereka menyeru masyarakat kepada seruan Rasul. Maka orang yang tidak meneruti seruan mereka, berarti menentang Rasul lalu wajib diperangi atau tunduk menyerah9.

c. Daerah Yang tidak sepaham

Daerah penduduk yang tidak menyetujui paham mereka dipandang darur syirik, haram diadakan hubungan kasih saying dengan mereka, haram bermukim di tengah-tengah mereka, haram berbisanan dengan mereka, haram pusaka mempusakai, haram memakan sembelian mereka, tidak boleh mengikuti sembayang mereka, tidak boleh menerima kesaksian mereka, tidak boleh belajar agama dari mereka, halal berkhikmat terhadap amanah-amanah mereka, boleh membunuh mereka, dan boleh membunuh wanita dan anak-anak dari penduduk daerah itu10.

d. Bermuamalah

Tidak boleh boleh memelihara diri dalam bermuamalah dengan penduduk daerah itu, karena Allah telah mencela orang-orang yang karena takut memelihara diri11. Sebagai dasar pegangan mereka adalah firman Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا

“ Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun ( QS. 4 : 77)

e. Penzina

Boleh para penzina muhshan tidak dirajam, karena nash hanya menyuruh dicambuk saja setiap penzina. . selain itu juga mereka mewajibkan hukuman had atas orang yang menuduh wanita mushanah berbuat zina, tidak dikenakan hukuman had atas penuduh yang menuduh lelaki yang muhshan.12

f. Menikahi cucu Perempuan

Menghalalkan menikahi cucu perempuannya sendiri, dan cucu kemenakannya. Karena yang dilarang dalam Al-Qur’an ialah menikahi anak perempunnya sendiri atau menikahi kemenakannya sendiri13.

Selain itu menurut As-Syahritani azariqoh membuat bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan yaitu :

1. Menyatakan kafir orang-orang Islam selain mereka, kekal dalam neraka, dan halal membunuhnya.

2. menyatakan kafir orang-orang yang tidak ikut perang.

3. Menyatakan halal membunuh kanak-kanak dan para wanita dari orang-orang yang menentang mereka.

4. Menetapkan hokum bahwa anak-anak dari orang-orang musyrik juga akan dimasukan ke dalam neraka bersama ayah mereka.

5. Meniadakan hokum rajam terhadap orang yang zina, lantaran hukuman itu tidak disebutkan dalam al-Qur’an.

6. prinsip “ taqiyah” tidak boleh, baik dalam perkataan, maupun dalam perbuatan.

7. Menyatakan kafir orang yang melakukan dosa besar14.

C. Syiah Ismailiah dan Metode Pemikiranya

1. Syi’ah Ismiliyah

Ismailiyah ialah suatu golongan dari golongan-golongan Syiah . Dinamakan dengan nama ini adalah karena golongan ini menghentikan rantai keimamahan pada Ismil yaitu putra dari Ja’far Ash Shadiq. Imam yang ke enam dari Imam-imam yang dua belas. Golongan ini menjadikan Imamah sesudah Ja’far wafat untuk putranya Ismil. Ja’far pada mulanya telah menunjuk Ismail sebagai penggantinya. Akan tetapi karena Ismail itu seorang pemabuk, maka Ja’far menunjuk sebagai penggantinya putranya yang kedua yaitu Musa. Namun demikian golongan Ismiliyah tidak menerima pencabutan itu karena mereka berpendapat bahwa Imam itu adalah Maksum meminum arak tidak merusak kemaksumannya dan mereka berpendapat bahwasanya boleh memerintah sesuatu kemudian membatalkannya. Pendapat mereka ini berlawanan dengan pendirian Ja’far sendiri. Dan Ismail itu meninggal di Madinah pada tahun 143 H. yaitu 5 tahun sebelum wafat ayahnya dan dikubur di perkuburan Baqi. Walaupun Ja’far mendatangkan beberapa saksi menandaskan bahwa Ismil telah meninggal, namun pengikut-pengikut Ismail tidak membenarkannnya15.

Syi’ah Ismiliyah merupakan Sekte dari syiah yang berpendapat bahwa imam itu hanya tujuh. Golongan Syiah pada mulanya adalah pengikut Sayidina Ali bin Abi Thalib. Kemudian berpindah secara otomatis kepada keluarga Ali. Bahwa meraka melanjutkan kesetiaan mereka kepada Rasullah.

Syiah berarti pengikut ( pendukung faham ). Kalimat ini dipakai untuk satu orang, dua orang atau banyak orang, baik laki-laki ataupun perempuan. Kalimat ini pakai secara khusus buat orang yang mengangkat Ali dan keluarganya untuk menjadi khalifah dan berpendapat bahwa Ali dan keluarganyalah yang berhak menjadi khalifah16.

Sebagaimana Syi’ah Imamiah, Imam pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan seterusnya hingga keempat Abu Abdillah Jakfar al-Shadiq. Perbedaannya adalah :

1. Syi’ah Imamiah, imam ketujuh adalah musa al-Kazhim, sedangkan menurut Ismailiyah, Imam ketujuh adalah Ismil. Karena itu sekte ini namakan Ismailiyah.

2. Imamiah, setelah imam ketujuh masih ada lima imam lagi sehingga berjumlah 12 orang. Sedangkan menurut Ismiliyah, setelah Ismail tidak ada imam lain lagi. Syiah Ismailiyah sering disebut syi’ah Sab’iyah atay Syi’ah tujuh17.

Terjadi perbedaan pendapat tentang sejarah pertumbuhan, sebab disebut aliran Ismiliyah dan sejauh mana hubungannya dengan ja’far al Shadiq. Terkadang Ismailiyah diklasifikasikan ke dalam aliran ekstrim, tetapi kadangkalanya diklasifikasikan kedalam aliran moderat. Menurut Ibrahim madkour bahwa aliran Ismailiyah dihubungkan dengan Ismil ( 145 H-762 M), Imam ketujuh dan anak tertua dari Ja’far al Shadiq. Aliran Ismiliyah tidak sama sekali memiliki andil di zaman Ismail sendiri, orentasi-orentasinya baru kelihatan sekitar 100 tahun Ismail wafat. Pengkaitan nama juga baru dikenal di tahun-tahun belakangan ini. Ia dihubungkan dengan mata rantai Imam yang datang sesudah dia dan mereka menyembunyikan diri, karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi lawan-lawan mereka.18

2. Perjalan sejarah Syiah Ismailiyah

Syi’ah Ismailiyah dalam perjalannya sejarahnya pernah memegang kekuasaan yang cukup lama di Afrika Utara, yaitu ketika mereka mempu mendirikan kerajaan Fatimiah.

Kerajaan Fatimiah didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi, tokoh Ismiliyah, tahun 297 H atau 909 M. Pada mulanya pusat kerajaan ini di Raqadah, Tunisia, Ubadillah secara memproklamasikan berdirinya kerajaan dinasti Fatimiah di daerah ini dan mengangkat dirinya sebagai Imam pada tahun tersebut.19

Dinasti Fatimiah dalam perjalanannya dalam waktu singkat memperluas kekuasaannya sehingga pada puncak kejayaan wilayah kekuasannya membentang dari pantai atlantik disebelah Barat sampai ke Syam ( Syiria) disebelah Timur, meliputi tiga benua sebagain Afrika, sebagian Asia, dan sebagian Eropa.

Dalam sejarah dinasti Fatimiah membangun kota kairo di Mesir dan mendirikan masjid Al-Azhar yang berkembang dengan pesat sehingga menjadi Universitas terkenal di dunia hingga sekarang. Kota kairo dibangun oleh Jauhar al-Siqqili, panglima perang Fatimiah yang berhasil menaklukan Mesir tahun 969 M, sedangkan Masjid Al-Azhar dibangun pada tahun 972 M.

Dengan usaha Jauhar al-Siqqili yang giat dan gigih, Kairo berkembang pesat. Pada tahun 973 M, Al-Mu’izli din Allah, khalifah Fatimiah keempat ( 341-365 H/ 952-975 M) memindahkan ibu kota kerajaan Fatimiah di kota mesir. Sejak itu dinasti Fatimiah mengukir sejarah dunia dengan berbagai kemajuan di segala bidang dan membentuk Fatimiah Raya dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas. Dinasti ini berkuasa lebih dari 200 tahun,dari tahun 909 M sampai dengan 1171 M dengan jumlah khalifah yang berkuasa sebanyak 14 orang.20

Penganut aliran Ismailiyah sampai sekarang masih ada, terutama di India. Pemimpinnya adalah Prince Karim Khan, cucu Agha Khan, yang kini menetap di Jenewa.

3. Imam-Imam syi’ah Ismailiyah

Syiah Ismailiyah dinisbatkan kepada Islam bin Ja’far Ashshahdiq. Syiah Ismiliyah beraneka ragam terdapat di daerah-daerah Islam hingga saat ini cukup terkenal di India dan sekitarnya. Syiah Ismailiyah berkeyakinan bahwa imamah terjadi atas dasar nash dan penunjuk, dan bahwa imam adalah ma’shum sehingga dengan demikian seorang imam pasti bersih dari dosa dan cela.

Imam Syiah terdiri dari imam yang tidak mastur dan imam yang mastur. Imam yang tidak mastur sebagai berikut :

1. Ali bin Abi Tholib

2. Hasan bin Ali bin Abi Tholib

3. Husain bin Ali bin Abi Tholib

4. Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Tholib

5. Muhammad Al-Baqir bin Zainal Abidin

6. Ja’far Ashshadiq bin Muhammad Baqir

7. Ismail bin Ja’far Asshadiq ( wafat tahun 145 H) atau Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ashshadiq ( menghilang tahun 183H )

Sedangkan Imam-imam yang mastur :

1. Muhammad bin Ismail bin Ja’far Ashshadiq

2. Abdullah Ar Ridha bin Muhammad bin Ism’il

3. Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Isma’il

4. Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Isma’il

5. Ali bin Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Isma’il

6. Sa’id Al khair ( Ubadillah Al Mahdi Al Qaddahi)21.

4. Gelar-gelar kaum Ismaliyah

Golongan Ismailiyah mempunyai bermacam-macam gelar. Gelar yang terkenal “ Al-Bathiniyah ”. gelar dilekatkan kepada mereka karena sesuatu hukum yang mereka tetapkan, yaitu bahwa tiap-tiap yang zhahir tentu mempunyai yang batin, dan tiap-tiap wahyu yang diturunkan Tuhan tentu ada ta’wilnya. Selain itu gelar-gelar yang dipakai dibeberapa tempat . di Irak mereka disebut “ Bathiniyah, Qaramithah, dan Mazdakiyah”. Di Khurusan mereka disebut : “ Ta’limiyah dan Mulhidah ”. mereka sendiri berkata : “ kami adalah Isma’iliyah, karena kami berbeda dari golongan-golongan Syiah lainnya dengan adanya nama dan tokoh tersebut.22

Aliran Ismiliyah mempunyai banyak nama, dimana yang terpenting adalah Al-Bathiniah, karena mereka menganut pandangan yang menyakini al-Imam al-Mustatir atau al-Batin ( adanya Imam yang sedang bersembunyi atau gaib), atau karena mereka berpendapat bahwa segala hal punyai aspek untuk ditakwilkan. Mereka disebut juga Al-Ta’limiah karena mereka menolak rasio ( analisa), sebaliknya menyerukan berta’lim dan belajar kepada al-Imam al-Ma’sum ( Imam yang terjaga dari dosa, suci)23. Menurut Goldhziher aliran Ismiliyah di klafikasikan ke dalam pendukung taklid. 24

5. Pokok pemikiran kaum Isma’iliyah

a. Pesan Rahasia ( al-Taqiyah )

Kaum Ismailiyah menganut doktrin al-Taqiyah ( pesan rahasia) bahkan mereka terapkan secara luas. Mereka kadang-kadang bertindak keras dan merusak khususnya kaum Qaramitah dan Al-Husyasyium. Mereka menganut kewarisan spritual, sehingga orang yang didakwahkan menjadi anak orang yang mendakwahkan ( al-Da’I ) dan dihubungkan dengan melebihi hubungan darah.25

b. Tingkatan Dakwah

Tingkatan dakwah yang diciptakan oleh kaum Ismailiyah diatur dalam tingkatan-tingkatan yang berurutan, dimana seorang pelajar tidak diperkenankan pindah dari satu ke lain tingkat ( yang lebih tinggi) tanpa izin dari di al-Da’i. Selain itu juga para da’I bertingkat-tingkat, dimana paling tinggi adalah Nabi yang menerima wahyu (al Kalam al Munazzal ) . Nabi mereka sebut Al-Natiq ( juru bicara Tuhan) . Satu tingkat di bawah beliau adalah Imam yang berhak menakwilkan wahyu yang diterima oleh Muhammad itu. Orang ini mereka sebut al-asas atau al-was-yu ( asas atau Wasiat. Muhammad adalah al-natiq sedangkan Ali al-asas. Tingkatan selanjutnya setelah al-Natiq dan al-asas adalah al –Hujjah yakni orang yang meneguhkan kebenaran risalah al asas. Setelah al Hujjah adalah al-Da’i. Demikian seterusnya. Da’I amat banyak yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Setiap sekumpulan da’I dibimbing oleh da’I besar atau da’I al Du’ah ( da’I Agung), dan ikhwan al –Saffa termasuk dalam struktur ini 26.

d. Teori ke Tuhanan

Pada prinsipnya bahwa akal manusia tidak mampu mempersepsi Zat Ilahi. Zat ini hanya punya sifat-sifat. Sifat-sifat itu ( hanya) dituangkan pada akal pertama yang diciptakan Allah. Kita hanya bisa mengetahui al-Aql al-Mubtada’ ( akal yang dicipta) ini tetapi kita bisa mengetahui al-Bari al Mubdi ( si pencipta, Allah SWT) . Dengan demikian berarti bahwa mereka lebih ta’lil ( menganggap bahwa Allah tidak mempunyai sifat) di bandingkan Mu’tajillah, kendatipun mereka berusaha melepaskan tuduhan ini dari diri mereka.27

e. Teori emanasi atau pancaran ( al-Faid wa al-sudur)

Kaum Ismailiyah memegang teori emanasi yang dilakukan oleh Ibnu Sina dan Farabi. Dari akal, beremasilah al-Nafs al-Kulliyah ( jiwa universal). Dari jiwa universal, beremasilah materi ini. Dari persatuan antara akal, jiwa materi, waktu dan ruang, beremasilah gerakan segala falak dan alam.

Persatuan akal, jiwa, materi, waktu dan ruang, melahirkan gerakkan falak-falak dan alam-alam. Mereka menafsirkan penciptaan dalam interprestasi filosofis yang tidak sejalan dengan Mahakuasaan dan ke Maha Agungan Allah SWT. Selain itu mereka menggabungkan tingkat-tingkat dakwah dengan tingkat-tingkat wujud. Sebagai contoh Al Natiq di alam bumi sama dengan akal pertama di alam atas ; Al-Asas atau al Was-yu sama dengan jiwa universal, demikian seterusnya. Mereka menyakini bahwa wahyu tidak terputus, karena wahyu merupakan pancaran dari al-Natiq kepada al-was-yu dan para Imam.

f. Kedudukan Imam

Mereka menamakan Imam itu “ Al-Qaim” atau Shahibuz Zaman, dan mereka memasukannya kedalam golongan nabi-nabi yang dikenal dengan sebagai “ Ulul Azmi ”. dengan demikian, jumlah nabi-nabi yang menyeru dan membawa syari’at menurut pandangan Isma’iliyah ini berjumlah tujuh orang yaitu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad dan Al-Qaim. Mereka berpendapat bahwa tiap-tiap Nabi mempunyai seorang “ asas ” ( pembantu) yang dapat dipercayai untuk menyampaikan risalah ( tugas-tugas kenabian) yang dipikulkan kepada nabi itu . Asas-asas tersebut ialah Syits untuk Adam, Sam untuk Nuh, Ismail untuk Ibrahim, Harun untuk Musa, Syam untuk Isa dan Ali untuk Muhammad. Adapun asas Al-Qaim, oleh penerbit tersebut dikatakan : “ Tidak dapat kita siarkan namanya, demi untuk menjaga rahasia-rahasia kepercayaan”28.

Dikatakan bahwa masing-masing dari mereka yang tujuh itu mempunyai suatu hari tertentu di antara hari-hari seminggu yaitu hari ahad untuk Adam, hari senin untuk nuh, hari rabu untuk Musa, hari kamis untuk Isa dan hari jum’at untuk Muhammad. Kemudian seorang juru dakwah Fathimiyah bernama Ahmad Hamidullah al-kinnani, penulis Risalah “ Usbu’u Dawariss Satr” – yaitu kumpulan risalah ini mengatakan tentang siapa yang punya hari sabtu : “ perintah Allah pasti datang, maka janganlah kamu memintanya agar disegarakan. Allah Maha Suci dari segala apa yang mereka perserikatan dengan-Nya. Yang haq telah datang, yang bathil itu pasti leyap. Telah tetaplah waktu yang punya hari sabtu, yaitu “ Al Qaim “ ( yang berdiri) di bumi ini sebagai akal berdiri didalamnya. Tempat berhenti pembawa cahaya di masa-masa dahulu, yang dituju oleh kesengan. Disisinyalah tempat melepaskan lelah.29

g. Al-Qaim

Mengenai Al-Qaim menurut Syihabuddin Abu Firas, penulis risalah “ Mathali’ usy Syumus fi ma’rifatin Nufus “ menjelaskan :

“ Imam adalah sebab bagi terwujud semua ciptaan dan kehidupan semua yang ada dan karena dialah tersusun akhlaq dan agama. Dialah yang ada, yang tidak akan hilang. Dia tidak disentuh oleh zaman, tidak terlibat dalam peristiwa sehari-hari. Dia adalah sinar yang sederhana dalam alam yang pertama. Dengan perantaranya Allah menciptakan batas-batas yang rohani, dan menjadikan bentuk-bentuk yang bertubuh dan ummat manusia. Kalau masanya sudah habis dan waktunya telah datang berpindahlah jabatannya kepada orang lain diantaranya, dan dialah yang mendekritkan atasnya, dan mengisyaratkan kepadanya. Maka ketahuilah hal itu, saudara dan perhatikanlah niscaya anda akan mendapat apa yang anda cari, dan apa yang anda maksud. Anda akan menemukan pula sebab-sebab keselamatan anda”.30

H. Shahibuz Zaman

Syamsudin ibnu Ahmad ibnu Ya’kub At Thibi penulis risalah Dustur wa Da’watul Mu’minin lil Hudhur menjelaskan tentang Shahibuz Zaman adalah sebagai berikut :

“ Shalawat dan salam serta penghormatan yang tinggi untuk maulana Imamuz Zaman, pusat wujud dan semua agama, qiblat bagi semua orang yang beriman, jalan yang terang bagi hati sanubari, adanya dipastikan oleh dalil-dalil dan keterangan, inti dari semua hakekat, ujung dari semua jalan, tujuan dari segala maksud, sebab dari adanya masa yang lalu dan masa yang akan datang, tali Allah yang amat kuat, cahaya Allah yang amat terang, kebenaran-Nya yang amat yakin, kitab-Nya yang amat jelas, naungan-Nya yang terhampar lebar, telaga-Nya yang didatangi, dan berdera-Nya yang dipasang.

Suatu amalan yang dikerjakan tanpa mengetahui Imam dan tanpa petunjuknya tiadalah berfaedah. Seperti dijelaskan dalam sair berikut yang artinya : “ Kalau tidaklah karena penunjuk jalan dan kebaikannya semua pekerjaan kita yang baik-baik akan sama artinya dengan tak ada”.

Sembayang itu pada hakekatnya ialah untuk berbakti kepada Imam-imam. Salah satu dari sifat Imam-imam itu ialah : mereka kadang-kadang tampak dan kadang-kadang tidak nampak. Seperti bait risalah sebagai berikut :

‘‘ Merekalah yang dituju dalam sembayang. Jikalau tidak karena mengingat mereka tak ada Isya’ dan tak ada Zuhur. Mereka menjadi kiblat semesta alam dalam setiap masa. Mereka kadang-kadang kelihatan oleh manusia, kadang-kadang tidak”. 31

i. Takwil

Diantara sifat-sifat yang mereka nisbahkan kepada Imam-imam ialah yang dijelaskan oleh Amir al-Bashri dalam risalah ini sebagai berikut:

“ pada tiap-tiap manusia ada seorang yang mempunyai laggam, bentuk dan rupa, didalamnya ada rahasia keimamam. Orang melihatnya seperti jenis manusia juga atau mendekatinya. Tetapi dekatnya kepada jenis manusia itu menjadi rahmat. Alam semesta taat kepadanya, masa tunduk kepada perintahnya. Tak ada seorang pun selainnya yang menguasai makhluk ini. Dialah yang hak, dialah yang sebenarnya, dalam segala yang kelihatan. Pada tiap-tiap masa rupanya berobah-robah”.

Itu merupakan gambaran dari kesesatan-kesesatan kaum Ism’iliyah. Akan tetapi puncak kesesatan tersebut ialah masalah takwil ( tafsiran).

Takwil-takwil ini telah dijelaskan oleh juru dakwa Ismailiyah Syamsudin ibnu Ahmad ibnu Ya’kub At Thibi penulis risalah Dustur wa Da’watul Mu’minin lil Hudhur diantaranya :

“ Aku berpegang kepada mempunyai kemuliaan dari kekuasaan, dan berlindung dibawah yang mempunyai kerajaan, bertakwakkal kepada yang hidup, yang tak akan mati selama-lamanya. Tuhan kita dan Tuhan pokok-pokok kita. Aku mengakui bahwa tidak ada sesuatu yang zahir kecuali dia mempunyai yang batin. Tidak ada rupa yang tidak mempunyai makna. Tidak ada kulit yang tidak mempunyai inti. Tidak ada kota yang tidak mempunyai pintu. Tidak ada cahya melainkan ada pula dindingnya. Tidak ada syariat tanpa tarekat, dan tidak ada tarikat tanpa hakekat. Tidak ada hakekat tanpa wahyu, dan tidak ada wahyu tanpa takwil ( tafsir).”

Mukadimah tersebut untuk penetapkan bahwa tiap-tiap yang zahir itu ada batinnya, dan tiap-tiap wahyu itu ada takwilnya.

Berdasarkan mazhab Ismailiyah, kewajiban beribadah menjadi gugur dari orang yang telah mengenal takwil-takwil itu. Karena mereka mengambil dali dari firman Allah :

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“ dan sembahlah Tuhanmu higga datang kepadamu ‘ilmul yakin”.
Maksud dengan ilmul yakin dalam ayat tersebut menurut mereka ialah pengetahuan yang sempurna dan takwil”

Juru dakwah tersebut menutup risalah takwilnya dengan ucapan : “ Ini adalah ta’wil kepercayaanku dalam agama, dan juga merupakan kesimpulan dan inti sari dari hasil ijtihadku untuk mendapatkan ilmulyakin, dan inilah risalah agama Rasul yang mulia, dan agama anak cucu Nabi Ibrahim al –Khalil dan mazhab berita yang besar, dan I’tikad para ahlil bait. Barang siapa mengubah atau menggantinya, sesudah ia mendengarnya, maka dosanya adalah atas orang-orang yang menggantinya itu. Bahwasanya “ Allah amat mendengar dan mengetahuinya’’32.

D. Kesimpulan :

1. Aliran Az-zariqoh merupakan subsekte dari khawarij yang sangat radikal dari al-Muhakimah. Mereka tidak lagi memakai trem kafir, tetapi trem Musyrik atau Polytehies. Dalam Islam syirik atau polytheis merupakan dosa terbesar, lebih besar dari kufr.

2. Prinsip ajaran-ajaran az-Zariqoah banyak terjadi penyimpangan yang tidak sesuai dengan ajaran Al-qur’an dan sunah Nabi Muhammad . Ajaran yang dilaksanakan dengan prinsip kekuatan akal dan balas demdam yang membara.

3. Syi’ah Ismiliyah merupakan Sekte dari syiah yang berpendapat bahwa imam itu hanya tujuh. Golongan Syiah pada mulanya adalah pengikut Sayidina Ali bin Abi Thalib. Kemudian berpindah secara otomatis kepada keluarga Ali. Bahwa meraka melanjutkan kesetiaan mereka kepada Rasullah.

4. Prinsip ajaran aliran Ismailiyah yang dilaksanakannya tidak lagi sesuai dengan Al-Qur’an Sunah nabi. Mereka sudah banyak terjadi penyimpangan yang mengkhususkan terhadap Ali Abi Thalib yang seorang maqsum.

DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, 2002, Teologi Islam : aliran-aliran, sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta UI Press

H.M Yusran Asmuni ( 1996) Ilmu Tauhid. Jakarta Raja Grafindo Persada

Ibrahim Madkour. ( 2004) Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta . Bumi Aksara

M. Hasbi Ash Shiddieqy, ( 1973) Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid / kalam, Jakarta. Bulan Bintang

Syalabi ( 2003) Sejarah dan kebudayaan Islam 2 . Jakarta. Pustaka Al Husna Baru

Sahilun A.Nasir, ( 1991) Pengantar Ilmu Kalam, Jember,



1 Harun Nasution, 2002, Teologi Islam : aliran-aliran, sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta UI Press. Hal 16

2 Syalabi ( 2003) Sejarah dan kebudayaan Islam 2 . Jakarta. Pustaka Al Husna Baru . Hal 288

3 Harun Nasution, 2002, Op.Cit. Hal 13

4 Harun Nasution, 2002, Ibid . Hal 13

5 Harun Nasution, 2002, Op.Cit. Hal 13

6 Harun Nasution, 2002, Op.Cit. Hal 15

7 Harun Nasution, 2002, Op.Cit. Hal 17

7 Harun Nasution, 2002, Op.Cit. Hal 17

8 Harun Nasution, 2002, Op.Cit. Hal 18

9 M. Hasbi Ash Shiddieqy, ( 1973) Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid / kalam, Jakarta. Bulan Bintang . Hal 177

10 M. Hasbi Ash Shiddieqy, ( 1973) Ibid . Hal 177

11 M. Hasbi Ash Shiddieqy, ( 1973) Ibid . Hal 177

12 M. Hasbi Ash Shiddieqy, ( 1973) Ibid . Hal 177

13 Sahilun A.Nasir, ( 1991) Pengantar Ilmu Kalam, Jember, -, hal 106

14 Syalabi ( 2003) Sejarah dan kebudayaan Islam 2 . Jakarta. Pustaka Al Husna Baru . Hal 289

15 M. Hasbi Ash Shiddieqy, ( 1973) Op.Cit . Hal 154

16 M. Hasbi Ash Shiddieqy, ( 1973) Ibid . Hal 139

17 H.M Yusran Asmuni ( 1996) Ilmu Tauhid. Jakarta Raja Grafindo Persada. Hal. 141

18 Ibrahim Madkour. ( 2004) Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta . Bumi Aksara. Hal 95

19 H.M Yusran Asmuni ( 1996) Op.cit . Hal. 141

20 H.M Yusran Asmuni ( 1996) Ibid. Hal. 141-142

21 Sudarsono ( 2004) Filsafat Islam. Jakarta .Rineka Cipta. Hal 20

22 Syalabi ( 2003) Op.cit . Hal 187

23 Ibrahim Madkour. ( 2004) Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta . Bumi Aksara. Hal 97

24 Ibrahim Madkour. ( 2004) Ibid . Hal 97

25 Ibrahim Madkour. ( 2004) Ibid . Hal 96

26 Ibrahim Madkour. ( 2004) Ibid . Hal 96-97

27 Ibrahim Madkour. ( 2004) Ibid . Hal 98

28 Syalabi ( 2003) Op.cit . Hal 188

29 Syalabi ( 2003) Op.cit . Hal 188

30 Syalabi ( 2003) Op.cit . Hal 189-190

31 Syalabi ( 2003) Op.cit . Hal 190

32 Syalabi ( 2003) Op.cit . Hal 191-1

Minggu, 23 Mei 2010

Pendidikan sebagai sebuah industri

Pendidikan sebagai sebuah industri

DENGAN makin berkembangnya manusia, berkembang pula ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang. Itu semua mengharuskan pendidikan menyesuaikan langkahnya jika ingin tetap relevan. Hal itu menjadikan pendidikan kian mahal, satu kenyataan yang sering kurang disadari banyak orang. Di pihak lain berkembangnya umat manusia mendorong makin banyak orang untuk maju dan tak mau tertinggal. Dan mereka semua memerlukan pendidikan yang baik.
Akibatnya, baik faktor kualitas maupun kuantitas pendidikan tidak dapat diabaikan. Pendidikan harus diselenggarakan secara bermutu dan adil merata bagi seluruh rakyat yang berminat. Maka, pendidikan yang sudah mahal, karena harus mencapai kualitas, menjadi makin mahal karena harus pula melayani kuantitas.

Berdasarkan pustaka pendidikan sebagai industri, Amirika Serikat salah satu diantara negara adikuasa yang menerapkan pendidikan sebagai industri, berhasil sangat luar biasa. Pada tahun 1975 – 1976 memperkerjakan guru-guru 3 juta personil, dan membiayai 10 juta sector pendidikan formal, dan setiap tahunnya biaya pendidikan Amirika lebih 12 % dari pendapatan Nasional ( GNP ) dari komponen industri pendidikan di eksplotasi total ( detail ).
Terdaftar nama secara total dalam penghasilan lebih kurang 45 juta tahun 1959 – 1960, dan lebih 49 juta orang tahun 1975 – 1976 . hal ini nampak kemajuan, tetapi bagaimana pada 1975 – 1976 awal mereka mendaftar pada sekolah dasar dan lanjutan relatif berkurang dari tahun 1969 – 1970 karena atas pertimbangan kelahiran dari perhitungan proyeksi tahun 1983.
Ekonomi pendidikan didukung oleh intansi negeri dan swasta. Hal ini merupakan suatu kewajaran dengan menguatnya pendidikan sebagai industri tenaga kerja intensive. Di Amirika Serikat pada tahun 1979 ada 7,66 % ( 7.416. 000 ) pekerja total dari total seluruh pekerja, bekerja di sector pendidikan baik bagi lembaga negeri maupun swasta , dimana sekitar 2 / 3 tenaga pekerja tersebut merupakan tenaga professional. Jumlah pekerja sector jasa diatas 7.416. 000 belum termasuk pekerja yang berkerja di sector jasa pendidikan yaitu swasta yang memproduksi jasa dan barang bagi kebutuhan industri pendidikan seperti percetakan dan penerbitan buku.
Kenyataan diatas memperlihatkan bahwa pendidikan merupakan lahan subur ekonomi yang besar dalam industri modern. Pendidikan merupakan barang ( baik materi maupun non materi ) produsen dan konsumen sekaligus penghasil produk pendidikan yang professional.
Sistem pendidikan Indonesia memerlukan perubahan yang radikal ke sistem yang memandang pendidikan sebagai industri. Sistem ini akan mampu menjalankan subsidi silang dalam dunia pendidikan, sekaligus bisa meningkatkan devisa negara. Sistem pendidikan yang paling sesuai adalah yang berasal dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia sendiri.
Hal itu dikatakan Guru Besar dan Vice Chancellor of Curtin University dan President of Bond University Australia Prof Don Watts AMTSE kepada wartawan setelah menjadi tamu kehormatan pada wisuda angkatan pertama lulusan President University di Kawasan Industri Jababeka, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (9/12).
Menurut Don, perjuangannya sejak 1985 untuk mendorong sistem pendidikan yang mampu dipandang sebagai industri, awalnya mendapat tentangan keras dari pemerintahan Australia. Pasalnya, sistem pendidikan yang terbuka bagi dunia internasional ini benar-benar memperhitungkan kehadiran komunitas asing sebagai sumber devisa. "Dengan demikian siswa dari negara luar dapat menyubsidi calon mahasiswa yang cerdas, namun kurang mampu dari segi finansial," katanya. Berkat perjuangannya, akhirnya pemerintah mendukung sistem yang diperkenalkan Don karena mampu meningkatkan devisa pemerintah Australia sebesar 7,1 miliar dolar Australia atau sekitar Rp 49 triliun. "
Menurut Don, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa merupakan tantangan besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Terlebih, hanya sebagian kecil dari jumlah itu yang termasuk golongan mampu. Kondisi itu, menurut Don, bisa saja dicermati dengan menciptakan sistem perpajakan yang mampu mengajak pemilik dana untuk menyisihkan sebagian hartanya secara sukarela ke dalam dunia pendidikan. Selain itu menurut Don Agar berhasil, menurut Don, tahap awal pendirian universitas harus fokus pada satu tujuan, yakni menjadi perguruan tinggi yang berhasil dalam mendidik (excellent teaching university) sehingga mampu menciptakan lulusan dan memiliki tenaga pengajar berkualitas tinggi. Setelah itu, perguruan tinggi dapat mengejar target membangun pusat riset yang diakui dunia internasional. "Perguruan tinggi yang langsung mengejar target menjadi pusat riset besar tidak akan maju," .
Pendidikan sebagai barang ekonomi dapat pula dikatakan sebagai hasil industri yang dapat dijual belikan ( pertukarkan ), namun seseorang tidak secara langsung dapat menjual atau menukar pendidikannya dengan barang ekonomi lainnya. Tapi jelas bahwa pendidikan dapat digunakan sebagai nilai alat tukar untuk menghasilkan barang meteri dan non materi.
Australia mampu menjadikan pendidikan sebagai salah satu industri terbesar penyumbang devisa, di mana pemerintahnya menciptakan standar yang jelas, infrastruktur dan kemudahan bagi sekolah berupa network dan endorsement. Jika kita berkunjung ke sekolah-sekolah di Singapore dan Malaysia, sangat banyak mahasiswa dari Indonesia dan tidak sedikit yang berprestasi sangat baik. Pelajar-pelajar terbaik dari negara tersebut malah menuntut ilmu di negara-negara lain yang lebih berkembang, misalnya Amerika dan Australia. Untuk lebih mendekatkan diri kepada customer, banyak sekolah dari luar negeri masuk ke Indonesia seperti Australia dengan Monash dan RMIT, Malaysia dengan Inti College, India dengan NIIT, Singapore dengan Informatics dan Canada dengan LaSalle College. Model yang digunakan adalah tahun awal belajar di Indonesia dan dilanjutkan di luar negeri, sering disebut sebagai pre-university ataupun kemudahan transfer ke luar negeri.

Komoditasi pendidikan ini memberikan manfaat positif bagi masyarakat karena terjadi liberasi pengetahuan. Pendidikan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan industri. Daerah yang tadinya tertinggal perkembangannya kini menjadi prospek pasar masa depan dengan daya beli dan kemampuan ekonomi yang besar. Ilmu yang tadinya sulit didapat menjadi accessible bagi banyak orang.
Komoditasi pendidikan seperti ini menuntut pengelolaan sekolah tidak lagi sebagai institusi yang product-oriented, tetapi sekolah perlu menghadapi era kompetisi global yang membutuhkan kemampuan membangun brand dan mengkomunikasikannya kepada publik. Kurikulum, pengajar, metode pengajaran tidak lagi dipandang menjadi bahan generik, tetapi merupakan bagian dari konsep positioning sekolah.

Mau tidak mau, sekolah dan bidang pembelajaran akan mengalami cycle seperti bisnis lain. Produk yang masih berada di masa formatif sesuai untuk para early adopter sangat membutuhkan product excellence. Untuk berpindah ke market yang lebih besar, kendala yang dihadapi adalah standarisasi kurikulum, modul dan pengajar, juga reduksi cost sehingga harga bisa terjangkau masyarakat luas.

Begitu memasuki era market mainstream di mana mayoritas customer adalah early dan late majority, produk harus mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, baik dari sisi harga maupun availability. Dalam hal ini institusi harus berkonsentrasi pada distribusi dan marketing, sedang dari sisi kurikulum dan produk mereka akan mulai bermitra atau melisensi
Untuk tetap stay ahead in the competition, tetap diperlukan strategi inovasi dan pengembangan produk di masa depan. Salah satu teknik yang sangat sukses mengidentifikasi kebutuhan pasar adalah dengan membentuk komunitas.
Inggris dengan British Council membuktikan hal ini. Mempromosikan kegiatan budaya akan menarik komunitas awal (disebut alpha pada buku Buzz: Harness the Power of Influence and Create Demand – Marian Salzman) yang akan mempengaruhi komunitas yang lebih besar (disebut bees). Riri Riza dan Ira Kusno sebagai penerima beasiswa dari Inggris adalah para alpha yang menjadi influencer para bees – siswa dan pelajar di British Council yang nantinya mempengaruhi mainstream market.


Model Pendidikan Masa Depan Kategorisasi pendidikan tidak lagi hanya terbatas dari sisi fasilitas yang tangible, terobosan-terobosan model pembelajaran akan terus bermunculan dan banyak akan muncul dalam bentuk intangible. Contohnya seperti home schooling, yang populer di kalangan gereja, atau e-learning yang meskipun saat inipun di negara maju tingkat keberhasilan masih di bawah 30%, masih terus mengalami evolusi sehingga bisa diterima publik.

POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN

POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN1
Oleh: Irwansyah dan Imron2
A. Pendahuluan
Umat Islam yakni kaum muslim, apapun jenis aliran yang mereka anut dan dimana pun mereka hidup, tentu menjadikan Al-Qur-an sebagai pedoman kehidupan religiusnya. Konsekuensinya, Al-Qur’an pasti menempati posisi paling sentral dalam kegiatan apapun yang terkait aspek religius setiap muslim, tinggal tergantung pada pemahaman dan pengamalan masing-masing individu muslim tersebut. Namun permasalahannya, sudahkah Al-Qur’an dijadikan dasar dan “penerang” dalam memandang, menyikapi, dan menjalankan peran kita, bukan semata untuk kepentingan apa yang kita istilahkan dengan ibadah yang religius, melainkan untuk apa yang kita istilahkan dengan hidup yang realistis?
Paparan ini akan berusaha mengungkap pertanyaan itu dengan membatasi pembahasan pada 3 (tiga) masalah pokok yaitu:
1. Benarkah Al-Qur’an sudah menjadi sumber berbagai ilmu keislaman?
2. Aliran-aliran apa saja yang ada dalam Islam dan bagaimana korelasinya dengan Al-Qur’an?
3. Bagaimana peranan unsur nalar dalam memahami Al-Qur’an?

B. Pembahasan
1. Al-Qur’an sebagai Sumber Berbagai Ilmu Keislaman
Al-‘Alaq merupakan Surah Al-Qur’an yang pertama diturunkan.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tdak diketahuinya” (QS Al-‘Alaq:1-5).

___________________________
1Disajikan dalam kegiatan kuliah Studi Al-Qur’an, 13 Nopember 2006
2Dikerjakan sebagai tugas bersama
Iqro’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah: ciri-ciri sesuatu, bacalah gejala alam, tanda-tanda zaman, sejarah, termasuk diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak. Dengan demikian, perintah iqro’ mencakup apa saja yang dapat dijangkau untuk dipelajari.
Deskripsi di atas belum serta-merta menjawab: telahkah Al-Qur’an menjadi sumber ilmu? Ia baru menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang memerintahkan kita untuk mencari ilmu pengetahuan, tanpa memberikan petunjuk tegas bahwa ilmu pengetahuan itu ada dalam Al-Qur’an itu sendiri. Benarkah Al-Qur’an hanya menyuruh mempelajari pengetahuan tanpa menjadikan dirinya sebagai sumber belajar? Jangan terlalu cepat mengiyakan. Baca lagi ayat-ayat Al-Qur’an lainnya.
Secara logika saja, karena Al-Qur’an adalah pedoman hidup kaum muslim, tentu saja ia akan memuat aturan-aturan tentang cara menjalankan kehidupan sebagai muslim. Dengan demikian tentu saja Al-Qur’an melengkapi diri dengan tata cara yang harus dipedomani dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya tentang beribadah, berkeluarga, bermasyarakat, berusaha/mencari nafkah, dan lain-lain.
Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran Islam karena Al-Qur’an langsung diturunkun oleh Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia baik yang beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam. Karena Al-Qur’an merupakan pokok ajaran Islam, maka segala studi mengenai keislaman tidak boleh bertentangan dengan sumber pokok ini.

Apabila kita perhatikan, maka susunan Al-Qur’an adalah merupakan suatu susunan yang tidak tertandingi, sehingga dari segi ini dapat dipahami berbagai kemungkinan penger¬tian, karena kalimat-kalimatnya simpel dan isinya padat. Ber¬dasarkan janji Allah SWT., bahwa kalimat-kalimat Al-Qur’an yang terlihat sederhana bila direnungkan berulang-ulang dan secara mendalam, baik dari segi bahasanya maupun dari segi kandungamya merupakan suatu sumber pengetahuan yang tidak akan selesai-selesainya untuk dibahas. 3


___________________________
3M. Ali Hasan. 2000. Studi Islam, Al-Qur’an dan As Sunnah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm 137.


Janji Allah tersebut sebagaimana firman-Nya:

“Katakanlah sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Al-Kahfi: 109).

Ayat tersebut menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah merupa¬kan sumber segala ilmu pengetahuan yang tidak pernah kering bila dibahas, khususnya mengenai keislaman. Dalam ayat lain disebutkan, bahwa Al-Qur’an tersebut meliputi segala macam persoalan dan cara penyampaiannya secara global, sebagaimana firman Allah: “Dan tidak kami alpakan sesuatupun dalam al-kitab (al¬-Qur’an)”(Al-An'am: 38).

Jadi isi Al-Qur’an meliputi segala macam persoalan, dan bisa dibahas dari berbagai aspek. Al-Qur’an juga dapat dilihat dari segi kandungannya yang bukan hanya mengemukakan persoalan-persoalan yang menyangkut peribadatan saja, tetapi meliputi juga persoalan teologi, persoalan kemasyarakatan, persoalan eksistensi manusia bahkan persoalan-persoalan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti ilmu dan teknologi. Karena posisi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama, maka segala sesuatu pembahasan mengenai keIslaman, baik yang menyangkut ajaran maupun yang menyangkut unsur-unsur pendukung terlaksananya ajaran tersebut, seluruhnya mengacu kepada Al-Qur’an. Bagi orang-orang yang percaya akan kemu'jizatan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an itu betul-betul akan menjadi petunjuk baginya dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.4

Al-Qur’an mengandung pengertian yang lengkap mengenai segala aspek kehidupan manusia, alam semesta dan metafisika, masa lampau, masa kini dan masa depan, individu, masyarakat, sosial politik, dan sebagainva.
Dilihat dari abad ke abad, umat Islam tidak pernah berhenti mengembangkan ilmu pengetahuan di mana saja mereka berada. Pada negeri-negeri yang diilhami oleh umat Islam selalu terdapat lembaga tempat perkembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu bersumber dari al-Qur’an. Dalam lembaga-lembaga ini diajarkan tentang Al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, ilmu fikih, teologi Islam, mantiq, astronomi, sejarah dan lain-lain.
___________________________
4Ibid, hlm 139

Ilmu keislaman dan dasar pokok yang dipandang penting di antaranya5:

a. llmu Tauhid (Teologi)

Ilmu tauhid disebut juga ilmu kalam, yaitu ilmu yang membahas tentang ke-Esaan Tuhan dan wujud Allah dengan segala sifat-Nya. Dalam ilmu tauhid disebutkan tidak hanya dibahas mengenai wujud Allah saja, tetapi juga dibahas tentang iman kepada rasul, kitab-kitab yang diturunkan Allah, malaikat-¬malaikat, hari akhirat (alam gaib), dan iman kepada kadar baik maupun buruk, yang disebut dengan rukun iman. Sebagai inti dari rukun iman itu, adalah iman kepadaAllah, mengakui wujud-Nya dan meng-Esakan-Nya.
Untuk meyakinkan kita, bahwa Allah itu ada (wujud), di dalam Al-Qur’an diisyaratkan supaya kita memperhatikan makhluk (alam) ciptaan-Nya. Dibalik ciptaan dan alam jagad raya ini akan ditemukan Allah dan diyakini wujud-Nya. Di antaranya Allah berFrman:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu. Dia hidupkan bumi sesudah mati (keringnya), dan dia sebarkan di bumi itu segala jcnis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang di antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (ke-Esaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (AI-Baqarah: 164)

Di dalam ayat di atas diisyaratkan, supaya hamba Allah memikirkan tentang kejadian alam semesta ini. Ayat Al-Qur’an cukup banyak memberi isyarat ke arah itu dan sesudah direnungkan dalam-dalam akan menemukan Penciptanya dan meyakini keberadaan-Nya. Kemudian diyakini pula, bahwa pencipta semuanya ini adalah Tunggal (Esa), tidak berbilang.

___________________________
5Ibid, hlm 140-146.
b. Ilmu Fiqih

Ilmu ini adalah dasar dari apa yang disebut sebagai hukum. Setiap orang akan punya pandangan dan alasan sendiri dalam memandang dan menyikapi sesuatu. Untuk itu harus ada pedoman sebagai rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat sehingga tidak menggiring orang ke lembah perpecahan dan setiap orang mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pen¬dapat sendiri (toleran, tasamuh).
Untuk menetapkan suatu hukum diperlukan seperangkat ilmu yang memungkinkan seseorang (mujtahid) menggali isi al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum berbagai masalah. Dengan dcmikian fikih pun merupakan suatu disiplin ilmu yang memerlukan kajian tersendiri.
Sebagian orang berpendapat, bahwa umat Islam menga¬lami kemunduran, karena terlalu terfokus pemikirannya kepada fikih. Islam mengalami kemunduran bukan karena terlalu berorientasi kepada fikih, tetapi karena sipenentu hukum itu tidak maju bergerak, se¬perti tetap berorientasi kepada fikih lama yang mungkin tidak sesuai lagi dengan keperluan zaman. Kalau ada yang beranggapan, bahwa fikih lama sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, maka had ini yang perlu diluruskan. Hendaknya dapat dipahami, bahwa hukum fikih itu sesuai dengan tuntutan zaman (ingat, bukan menyesuai¬kan dengan perkembangan zaman).

3. Ilmu Filsafat Islam

Banyak definisi yang diajukan tentang filsafat, tetapi inti sarinya adalah cara berpikir menurut logika dengan bebas sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalan. Manusia didorong untuk menemukan suatu orientasi hidup, yang dapat memberi arah dan pegangan bagi per¬buatan serta perilakunya.Filsafat yang bersifat ilmiah dikembangkan dengan ber¬titik tolak pada pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dari manusia, cara sistematis dan metodis, mengenai kenyataan-¬kenyataan hidupnya. Sebagai ilmu, fiIsafat dikatakan ilmu yang universal, karena obyeknya menyangkut seluruh kenya¬taan atau pandangannya terhadap sesuatu, ditumpahkan kepada latar belakang arti seluruh realitas manusia.
Menurut obyeknya, Filsafat meliputi beberapa cabang misalnya: filsafat manusia, yang menyelidiki manusia (ha¬kikat manusia), filsafat Ketuhanan, filsafat alam, filsafat pe¬ngetahuan dan sebagainya.Dari berbagai cabang filsafat tadi, dalam Al-Qur’an pun diisyaratkan supaya dipikirkan dan direnungkan. Sebagai contoh:mengenai manusia banyak diungkapkan, malahan pada permulaan ayat Al-Qur’an diturunkan, Selain manusia, binatang pun sengaja disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, seperti penamaan surat dengan nama binatang, yaitu surat Al-Baqarah, Al-An'am, An-Nahlu, Annaml, Al-Ankabut, dan Al-fill. Demikian juga halnya menge¬nai tumbuh-tumbuhan dan planet-planet yang beredar dalam jagad raya ini. Kesemuanya itu memerlukan pemi¬kiran, perenungan mengenai hikmahnya diciptakan oleh Allah.


2. Aliran-aliran dalam Islam dan Korelasinya dengan Al-Qur’an

Pada dasarnya, munculnya aliran-aliran, terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang pemahaman makna ayat-ayat Al-Qur’an berikut.
a. Ayat-ayat Muhkam dan Mutasybih6
Kita telah mengetahui bahwa dalam kitah sud Al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkam dan mutasyahih sebagaimana firman Allah:
“Dialah yang rnenurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang rnuhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti seba¬gian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman. kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat naengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” ( Ali-Imran: 7).

Ayat di atas berisi tentang pembagian ayat-ayat Al-Qur’an menjadi dua bagian, yaitu ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Adapun yang dimaksud dengan ayat

___________________________
6Ibid, hlm 152-162
muhkam yaitu ayat-¬ayat yang maksudnya (isyaratnya), jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman. Sedang menurut istilah ulama ushul ialah: “Sesuatu yang menunjukkan kepada artinya yang tidak menerima pembatalan dan penggantian secara jelas dan sama sekali tidak mengandung ta'wil, artinya tidak mengandung arti lain, yang bukan arti formalnya, ka¬rena ia dijelaskan dan ditafsirkan dengan penafsiran yang tidak membuka kemungkinan pena'wilannya. Juga tidak me¬nerima penghapusan (naskh) pada masa risalah Muhammad dan waktu kekosongan turun wahyu, atau sesudahnya. Ka¬rena hukum yang dapat diambil daripadanya adakalanya berupa hukum kaidah-kaidah agama yang bersifat asasi (fundamental) dan tidak dapat menerima penggantian, se¬perti meng-Esakan Allah dan mempercayai para Rasul-Nya serta kitab-Nya.”
Isinya terdiri dari prinsip-prinsip keutamaan yang tidak akan berubah lantaran perubahan situasi, seperti berbakti ke¬pada kedua orang tua dan berbuat adil, atau di dalamnya ter¬dapat hukum cabang yang merupakan bagian (anak cabang), tetapi terdapat bukti bahwa Syari' (Allah) menguatkan sya¬ri'at-Nya, seperti firman Allah yang ditujukan kepada para penuduh zina terhadap wanita bersuami (muhshan), sebagaimana firman Allah:
... Dan janganlah karnu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya... (An-Nuur: 4).
Ayat muhkam itu secara pasti wajib diamalkan. Tidak bisa dipalingkan dari pengertian Formalnya, dan tidak pula dapat dihapus. Penulis cenderung berpendapat bahwa al-muhkam itu tidak dapat menerima nasakh, karena setelah wfat Rasulullah SAW. telah terputus wahyu. Dengan demikian, hukum-¬hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, semuanya menjadi kokoh (pasti), yang tidak dapat menerima nasakh, dan juga tidak dapat menerima pembatalan, karena setelah Rasullullah SAW. wafat, tidak ada lagi kekuasaan untuk mem¬bentuk syari'at yang dapat membatalkan apa yang dibawa oleh beliau, atau menggantikannya.
Ayat mutasyabih adalah ayat yang maksud (isyaratnya) belum jelas, sehingga mungkin menimbulkan kekeliruan pemahaman. Menurut ulama ushul, iafah lafadz yang shi¬ghatnya itu sendiri tidak menunjukkan pada arti (maksud)-nya, dan tidak terdapat qarinah-qarinah luar yang menjelaskannya. Sedangkan Syari' (Allah) sudah mencukupkan begitu saja dan tidak menjelaskannya lagi.
Juga terdapat ayat-ayat mutasyabih berupa gambaran Allah SWT. menyerupai makhluk-Nya seperti mempunyai tangan, mata dan tempat, firman Allah SWT.
“Tangan Allah di atas tangan mereka ...” (AI-Fath: 10)
Firman Allah lagi:
“Tiada pembicaraan rahasia arrtara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya, dan tiada pembicaraan lima orang, melainkan, Dialah keenamnya, dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, rnelainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada...” (Al-Mujadilah: 7).

Huruf hijaiyah yang terpotong-potong yang terdapat pada permulaan sebagian surat (di dalam Al-Qur’an) itu sendiri tidak menunjukkan artinya, dan Allah SWT. tidak menjelaskan arti yang dikehendaki. Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu juga ayat-ayat yang formalnya menunjukkan penyerupaan al-Khalik kepada makhluk-Nya, adalah Maha Suci dari (mempunyai) tangan, mata, tempat dan segala se¬suatu apa pun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dan syara' tidak menjelaskan arti dari kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama salaf tentang arti mutasyahih. Mereka serahkan ke¬pada Allah SWT. arti mutasyabih itu dan mereka memper¬cayainya serta tidak membicarakan untuk tidak mentak¬wilkannya.
Sedangkan pendapat ulama khalaf, bahwa ayat-ayat itu formalnya adalah mustahil, karena Allah SWT, memang tidak mempunyai tangan, mata dan tempat. Segala sesuatu yang formal itu mustahil dan harus ditakwilkan dan dipalingkan dari arti formal ini.
Pengertian muhkam dan mutasyabih di dalam Al-Qur’an menurut para muFassir dan ulama adalah:
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami penger¬tian muhkam dan mutasyahih, namun ada pendapat yang lazim dan shaheh sejak awal Islam sampai sekarang yaitu:
a. Ayat muhkam yaitu ayat yang maksud dan isyaratnya jelas tidak ada keraguan dan kekeliruan, ayat-ayat ini wajib di¬imani dan diamalkan.
b. Ayat mutasyabih adalah ayat yang tidak dimaksudkan makna lahirnya dan makna hakikinya sebagai takwilnya, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, dan ayat-ayat ini wajib diimani dan tidak untuk diamalkan.
Pendapat-pendapat di atas merupakan pendapat di ka¬langan ulama ahlu sunnah dan ulama Syi'ah. Yang mernbe¬dakannya adalah, ulama Syi'ah percaya bahwa Nabi dan para imam ahlul baitnya, mengetahui takwil ayat-ayat mutasytbih. Sedangkan umumnya ulama kaum Muslimin karena tidak mengetahuinya, mereka merujuk kepada Allah, rasul dan para ulama.
Sebenarnya orang-orang keliru kalau terjadi ikhtilaf ulama tentang makna mutasyabih yang dipertentangkan dengan ayat muhkam dalam ayat 7 surat Ali-Imran di atas. Memang terdapat heberapa pendapat, sebagian dinasabkan kepada golongan ulama ushuluddin, dan sebagian lagi ke¬pada ulama selain mutakalimin dan ushuluddin. Di antara mereka ada dua pendapat yang masyhur, yaitu golongan yang mengatakan bahwa yang disebut ayat mutasyabih itu adalah makna lahirnya memberi kesan, bahwa maknanya itu tidak patut bagi kebesaran Allah dan tidak sesuai dengan penjelasan yang muhkam dalam mensudkan Allah dari sifat-¬sifat makhluk. Dalam menghadapi hal semacam ini ada dua alternatif yang harus dilakukan seorang Muslim yakni:
a. Mengimani dengan cara yang tidak bertentangan dengan kesucian Allah dan tidak condong menetapkan dengan jalan takwil. Dengan demikian rahasia yang mutasyahih telah tersimpan sebagai ilmu ghaib yang tidak dapat diketahui hakikatnya selain oleh Allah.
b. Mengubah makna lahirnya dengan menetapkan makna lain yang sesuai dengan kebesaran dan kesucian Allah, kemudian mengimaninya. Misalnya "bersemayam" diarti¬kan dengan "menguasai", "tangan" diartikan "kekuasaan", "kanan" diartikan "kekuatan", "terbuka tangan-Nya" di¬artikan "banyak anugerah dan pemberian-Nya," begitu pula dengan arti lain.
Pengertian seperti ini sebenarnya tidak dapat dimasuk¬kan mutasyabih, dalam arti bahwa rahasianya tersembunyi di balik ilmu Allah. Pengertian mutasyabih seperti itu ter¬masuk katagori memahami makna yang diperlukan dengan mengembalikan kepada yang muhkam. Hanya orang terten¬tulah yang memiliki pengetahuan tentang itu. Berdasarkan pendapat ini, bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada yang muta¬syabih dalam arti yang tersembunyi di balik ilmu Allah.
Di samping ada ulama yang mempunyai pendapat se¬perti tersebut di atas tentang makna mutasyabih, terdapat pula golongan lain yang berpendapat, bahwa mutasyabih yang dihadapkan dengan muhkam itu, adalah dilihat sudut penjelasannya. Oleh sebab itu, ia menjadi lapangan ijtihad bagi mereka.
Sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat adalah karena perhedaan tentang makna suatu kata yang terdapat dalam ungkapan tertentu. Umpamanya kata "quru"' dapat diartikan haid atau suci. Mungkin juga ikhtilaf terjadi disebabkan oleh makna yang kompleks. Ikhtilaf itu berkisar pada hadits yang dipandang shahih oleh seorang ahli fikih untuk makna sesuatu ayat, sedangkan ahli fikih yang lain tidak menggunakannya untuk makna ayat yang sama, dengan alasan yang dianggapnya lebih kuat. Banyak contoh yang dibentangkan dalam kitab-kitab yang mengupas masalah khilafiah dan telah diketahui oleh para ahli ilmu fikih. Ini berarti bahwa perkara yang diartikan mutasyabih diartikan sebagai yang diketahui oleh banyak orang. Tetapi atas dasar pengertian ini arti mutasyabih tidak termasuk ke dalam pokok yang sedang dibicarakan di sini.
Sudah barang tentu perbedaan paham yang terdapat di kalangan kaum mutakallimin sama dengan soal-soal khila¬fiyah yang terdapat di kalangan ulama fikih berdasarkan madzhab dan pendirian mereka. Dalam kedua macam ¬soal khilafiyah ini, Allah tidak berkehendak memaksakan hamba-hamba-Nya dengan suatu pendirian tertentu, malah sebaliknya, Allah SWT, membuka pintu ijtihad bagi akal pikir¬an mereka. Semua pihak yang tergolong orang-orang mukmin selamat, baik ia salah dalam ijtihad maupun benar. Inilah segi yang memperkuat pendapat di atas.


b. Ayat-ayat Qath’i dan Zhanni
Nash-nash Al-Qur’an jika ditinjau dari aspek dalalahnya atas hukum-hukum yang dikandungnya, dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:
a. Nash yang Qath’i dalalahnya
b. Nash yang Zhanni dalalahnya
Nash yang Qath’i dalalahnya adalah nash yang menunjuk¬kan kepada makna yang biasa dipahami secara tertentu, yang hanya satu pengertian dan penafsirannya, tidak ada kemungkinan menerima takwil dan tidak ada tempat bagi pemahaman lain selain itu, seperti Firman Allah:
”Dan (bagimu) (suami-istri) seperdua dari harta yaug di¬tinggalkan oleh suami atau istrimu jika rmempunyai harta...” (An-Nisa: 12).
Nash zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan was makna yang memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipaling¬kan dari makna asalnya kepada makna lain, seperti firman Allah:
“Wanita-wanita yang dithalak, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'...” (Al-Baqarah: 22S).

Jadi nash yang zhanni adalah yang memungkinkan penger¬tiannya dan penafsirannya lebih dari satu. Ayat-ayat yang se¬perti inilah yang menjadi lapangan ijtihad para mujtahid, yang hasil ijtihad mereka itu mungkin juga berbeda. Boleh dikatakan sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an adalah zhanni.
Ayat-ayat Al-Qur’an.itu ada yang Qath’i (pasti), yang tidak mungkin lagi dimasuki oleh daya nalar manusia, seperti kewajiban melakukan shalat, wajib puasa, zakat dan haji. Kemudian ada lagi ayat ayat yang Zhanni (dugaan, memung¬kinkan beberapa pengertian dan penafsiran), sebagaimana telah dikemukakan di atas. Dari ayat-ayat yang bersifat zhanni ini timbul berbagai macam pendapat dan aliran dalam Islam.
Kita kenal ada aliran dalam teologi, tasawuf, fikih dan sebagainya. Kalau kita bertanya apa sebenarnya yang menjadi rujukan masing-masing? Semuanya, mengatakan bahwa wahyu Ilahilah yang menjadi sumber atau landasan, me¬netapkan sesuatu, apakah filsafat, teologi, tasawuf atau fikih.
Jadi mengenai sumbernya tidak ada perbedaan pen¬dapat, tetapi yang berbeda, dalam memahami sumber itu (al-Qur’an). Kita lihat, ada kata yang bermakna ganda, ada yang mempergunakan makna hakiki dan ada pula yang mempergunakan makna majazi, ada yang memakai makna lughawi.
Berdasarkan kenyataan, bahwa Allah menurunkan ayat-¬ayat yang bersifat zhanni lebih banyak bila dibandingkan dengan ayat-ayat yang bersifat Qath’i, dengan tujuan, agar daya nalar manusia berkembang (dinamis), tidak jumud (statis), memikirkan yang tersirat, dan tidak hanya yang ter¬surat.
Ada beberapa aliran yang dikenal dalam Islam antara lain As-Salaf, Mu’tazilah, Al Asy’ariah, Syi’ah, dan Tasawuf.

a. As-Salaf
As-Salaf adalah mereka yang memegang teguh al Ma’sur (Al-Qur’an dan Sunnah), mendahulukan riwayat atas kajian (al Dirayah), dan mendahulukan naql (Al-Qur’an dan Sunnah) atas akal. Aliran ini dikenal pula dengan sebutan ahl al-Sunnah wa al Jami’ah. Mereka mengimani Al-Qur’an tanpa banyak tanya, memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara global berdasarkan pengertian-pengertian lahir8.

b. Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah aliran rasional dalam Islam yang membahas secara filosofis hal-hal yang tadinya belum diketahui melalui metode filsafat9.

c. Al Asy’ariah
Al Asy’ariyah kreatif yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub akal dan naql, antara kaum Salaf dan Mu’tazilah10.

d. Syi’ah
Jika ketiga aliran di atas berbeda karena pandangan mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, maka syi’ah muncul sebagai aliran yang meyakini Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang paling berhak menjadi khalifah (setelah Rasul wafat) karena Ali paling dulu masuk Islam, paling banyak menghadapi cobaan dalam fisabilillah, bahkan punya hubungan nasab paling kuat dengan nabi11.

___________________________
7 Ibrahim Madkour, Dr. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta : Bumi Aksara, hlm 36.
8Ibid, hlm 45.
9 Ibid, hlm 63.
10 Ibid, hlm 88.
e. Tasawuf
Aliran ini berpegang pada:
• Tingkah laku menjauhi pesona dunia demi kesucian jiwa dan tubuh.
• Mujahadah, ketahanan menghadapi bencana.
• Mementingkan akhirat.11

Tidak jarang terjadi gesekan dan benturan-benturan antara aliran yang satu dengan aliran yang lain. Namun demikian, perbedaan pendapat itu bukanlah suatu 'aib atau tercela dalam agama Islam. Perbuatan yang tercela dan 'aib, adalah perbedaan pendapat yang menjurus kepada pertentangan dan permusuhan. Hal ini disebabkan, karena kurang dewasa dalam berpikir, terpengaruh oleh emosi dan kefanatikan menganut suatu aliran. Padahal kalau dilihat, maka "syahadat" semua penganut dari berbagai aliran adalah sama, tidak ada bedanya. Mengapa sampai terjadi saling mengkafirkan, sedangkan tempat kembali dan ber¬naung adalah sama, yaitu Allah dan sumber ajaran Allah adalah sama pula yaitu Al-Qur’an.
Sebagai penutup bagian ini, sangatlah tepat apa yang dikatakan Muhaammad al-Baqir:
Kaum muslim, baik di Indonesia maupun di negara-negara Islam lainnya, telah membuktikan bahwa sikap keras dan fanatik yang berlebihan, dengan cara memandang madzhab dan faham kita saja yang berhak memonopoli kebenaran, sedangkan faham-faham lainnya pasti salah dan sesat dan oleh karena itu harus diganyang habis-habisan, ternyata tidak menghasilkan sesuatu kecuali pecahnya pertengkaran dan pertikaian sengit, dan timbulnya tragedi-tragedi yang meresahkan, serta menjalarnya kebencian di kalangan sesama muslim. Sehingga dalam hati kita timbul pertanyaan: “Sampai kapankah keadaan seperti ini tidak bisa diatasi?” Tidak kita bersedia mengamalkan firman Allah dalam surah al-Fatah: 29: ”Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaannya” 12


___________________________

11 Ibid, hlm 100-101.
12 Syarafuddin al-Musawi, A.. 1992. Dialog Sunnah Syi’ah. Bandung: Mizan, hlm xxx.


3. Unsur Nalar dalam Memahami Al-Qur’an13

Menurut epistemologi maupun sosiologi pengetahuan, persepsi yang terdapat pada seseorang merupakan cermin dari realitas itu, sebenarnya merupakan pengalaman yang terstruktur yang terbentuk melalui proses yang dipengaruhi oleh suatu kerangka pemikiran tertentu yang bisa disebut “teori”. Orang akan melihat dan memberikan arti terhadap pengalamannya berdasarkan “teori” yang terdapat di kepalanya. Ayat-ayat Al-Qur’an dapat juga menjadi “data”, walaupun berupa teks. Maka dalam menginterpretasikan “data” tersebut orang juga akan mempergunakan teori sebagai kerangka referensinya, apabila ia seorang sarjana yang sadar. Mereka yang bukan sarjana akan mempergunakan pengalaman terstrukturnya dalam membaca sesuatu. Demikian pula halnya ketika membaca Al-Qur’an.
Kesulitan yang dialami seseorang dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tertentu adalah karena kesulitan menghubungkan apa yang dibacanya dengan kerangka referensi yang terbukti dari pengalamannya. Itulah sebabnya, maka para mufasir menganjurkan untuk mengetahui asbabun nuzul dalam membaca suatu ayat tertentu, sebab keterangan yang akan diperoleh bisa membantu atau mengantikan pengalamannya sendiri sebagai kerangka referensi yang diperlukan untuk memahami suatu ayat. Namun pengalaman hidup sendiri tetap saja diperlukan, karena pengalaman itu, terutama yang luas dan memiliki dimensi komparatif, akan sangat membantu memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah sebabnya, pemahaman seseorang tentang ayat-ayat Al-Qur’an cenderung untuk semakin mendalam sejalan dengan bertambahnya pengalaman hidup. Tapi pengalaman ini bisa juga digantikan teori, yang sebenarnya merupakan “konsentrat” dan pengalaman yang banyak atau intensif yang dilakukan dengan penelitian.
Kalau kita kaji lebih mendalam isi Al-Qur’an yang meng¬informasikan berbagai aspek kehidupan, seperti aspek keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek-aspek lainnya, sungguh betapa lengkapnya Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam.

___________________________
13Sebagian disarikan dari Hasan, 0p cit, hlm 149-152
Tidak ada satu pun yang terlupakan atau ter¬tinggal dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang segala aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an dalam menginformasikan berita dari Allah tidak terlepas dari unsur nalar dan berbagai aspek lainnya, agar informasi tersebut dapat dipahami dan diterima oleh obyeknya.
Dalam perkembangan Islam, aspek nalar memainkan peranan penting. Dalam membahas bidang-bidang keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banyak pula berpegang pada akal. Peranan akal besar sekali dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan yang kita jumpai, bukan hanya dalam bidang Filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan dalam bidang fikih dan tafsir, karena Allah sendiri memerintahkan hamba-Nya berpikir. Al-Qur’an se¬bagai sumber ajaran Islam tidak dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat, kalau isi serta kandungannya itu belum dapat dipahami dengan baik, karena isi dan kandung¬an Al-Qur’an itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-¬hari.
Memahami Al-Qur’an tidaklah mudah, karena kita harus mengetahui sebab turunnya, lebih-lebih dalam mema¬hami ayat-ayat mutasyabihat dan pengetahuan lainnya. De¬ngan demikian dirasakan kebutuhan mengembangkan be¬berapa peralatan ilmiah untuk mengontrol kemajuan ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an (ilmu tafsir). Karena itu pertama-tama menjadi prinsip adalah, bahwa tidak hanya pengetahuan mengenai hahasa Arab saja yang diperlukan untuk memahami Al-Qur’an secara tepat, tetapi juga ilmu-¬ilmu yang lain seperti idiom-idiom bahasa Arab pada zaman Nabi. Dari sini berkembanglah gramatika bahasa Arab, ilmu perkamusan dan kesusastraan Arab dengan suburnya.
Selanjutnya latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang disebut "asbab al nuzul" dijadikan sebagai alat yang perlu untuk menerapkan makna yang tepat dari firman Allah. Di samping itu perlu juga diketahui dan dianggap sangat penting bagaimana caranya orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah Al-Qur’an. Setelah persyaratan¬-persyaratan ini dipenuhi, barulah penggunaan nalar manusia diberi tempat. Untuk itu bermunculanlah kitab-kitab taf¬sir sehingga pandangan apa pun yang ingin diproyeksikan dan dibela oleh kaum Muslimin, mengambil bentuk dalam berbagai tafsir Al-Qur’an.

C. Penutup
Simpulan dari tulisan ini:
1. Al-Qur’an adalah sumber berbagai ilmu keislaman. Karena Al-Qur’an merupakan pokok ajaran Islam, maka segala studi mengenai keislaman tidak boleh bertentangan dengan sumber pokok ini.
2. Memang ada aliran-aliran dalam Islam yang muncul karena faktor perbedaan pandangan tentang cara memahami ayat-ayat Al-Qur’an, faktor sejarah Islam, dan faktor-faktor lainnya. Yang terpenting adalah pemahaman bersama bahwa Allah dalam Al-Qur’an menghendaki sesama muslim untuk saling berkasih sayang.
3. Sebagian besar umat muslim berpandangan bahwa unsur nalar amat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Al-Qur’an se¬bagai sumber ajaran Islam tidak dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat, kalau isi serta kandungannya itu belum dapat dipahami dengan baik, karena isi dan kandung¬an Al-Qur’an itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-¬hari.
Jambi, 13 Nopember 2006

















Daftar Pustaka

Abul Kalam Azad. 1991. Konsep Dasar Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ali Abdul Hamid Hamudah, M.A.. 1992. Islam Digerogoti Aliran-aliran Destruktif.
Solo: CV Pustaka Mantiq.

Ali Hasan, M. 2000. Studi Islam, Al-Qur’an dan As Sunnah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Gibb, H. A. R.. 1992. Aliran-aliran Moderen dalam Islam. Jakarta: Rajawali.

Hanafi, A., MA. 1975. Ushul Fikih. Jakarta: Wijaya.

Hashbi Ash Shiddiqi, M. 1995. Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Ibrahim Madkour, Dr. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta : Bumi Aksara

Inu Kencana Syafiie. 1992. Al-Qur’an Sumber Segala Disiplin Ilmu. Jakarta: Gema
Insani Press.

Mukhtar Yahya, Prof. dan Fathurrahman, Prof. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Islam. Bandung: Al-Ma'arif.

Mukti Ali, dkk. 1997. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Quraisy Syihab, Prof. Dr. 1996. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Syarafuddin al-Musawi, A.. 1992. Dialog Sunnah Syi’ah. Bandung: Mizan